Di dinding batu yang gelap dan sunyi, jauh di kedalaman gua Leang Karampuang, Sulawesi Selatan, tersimpan kisah yang lebih tua dari peradaban.
Bukan tertulis dengan huruf, bukan pula terucap dengan kata.
Kisah itu hidup dalam warna merah oker, dalam goresan tangan manusia purba yang mencoba bercerita tentang hidup, tentang makna, tentang keberadaan.
Lukisan itu menggambarkan tiga sosok manusia yang berinteraksi dengan seekor babi hutan.
Sederhana, tapi penuh simbol.
Seolah manusia ribuan abad lalu sudah memahami bahwa kehidupan bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang meninggalkan jejak bagi yang datang setelahnya.
Para arkeolog menyebutnya sebagai lukisan gua tertua di dunia berusia lebih dari 51.200 tahun.
Sebuah catatan bisu dari masa yang tak terjangkau, ketika manusia belum mengenal peradaban, tapi sudah mengenal keindahan.
Mungkin, saat itu seseorang berdiri di depan dinding batu, menggenggam batu tajam yang dicelupkan ke tanah merah, lalu menggambar dengan cahaya obor di sekitarnya.
Ia tidak tahu bahwa ribuan tahun kemudian, manusia akan memandangi karyanya dengan takjub.
Ia hanya tahu bahwa setiap goresan adalah caranya untuk tidak dilupakan.
Waktu telah menghapus banyak hal, hutan, sungai, gunung, dan nama-nama yang tak lagi disebut.
Namun lukisan itu masih bertahan.
Meski retak, pudar, dan dikepung lembab, ia tetap ada, seolah menolak dilenyapkan oleh waktu.
Namun, kini ancaman datang bukan dari usia, melainkan dari manusia sendiri.
Perubahan iklim, aktivitas tambang, dan eksploitasi alam menggerus perlahan dinding-dinding yang dulu menjadi kanvas peradaban pertama.
Jika kita tidak berhati-hati, kisah ini bisa hilang… bukan karena lupa, tapi karena diabaikan.
Mungkin lukisan itu bukan sekadar gambar.
Mungkin ia adalah pesan dari masa lalu:
bahwa manusia selalu butuh cara untuk diingat.
Di setiap garis dan warna, ada percakapan tanpa suara antara masa lampau dan masa kini.
Mereka yang menggambar, dan kita yang menatapnya, sama-sama manusia — sama-sama ingin dimengerti, sama-sama ingin dikenang.
Sisi Lain Cerita
Beberapa kisah tidak ditulis dengan kata,
melainkan dengan keberanian untuk meninggalkan jejak.
Terinspirasi dari penemuan lukisan gua di Leang Karampuang, Sulawesi Selatan.
Ditulis ulang oleh tim Semesta Bercerita untuk menghadirkan makna dari sisi lain kehidupan.






