Di Ujung Senja yang Tak Bernama

Ghazala Dian Anugrah

Penulis | Juara 2 "Cinta dalam Cerita"

WAKTU :

Monday, March 4, 2024

KATEGORI :

Hampir setiap sore, aku berdiri di tepi pantai ini, menatap matahari yang pelan-pelan tenggelam seperti luka yang tahu cara sembuh tanpa menjerit.

Orang-orang bilang aku aneh—datang sendirian, berdiri lama, kadang bicara pelan ke laut. Tapi mereka tidak tahu, di setiap gelombang yang datang, ada satu nama yang selalu aku cari.
Nama yang dulu begitu dekat, tapi kini hanya bergetar samar di dada: Arven.

Kami pertama kali bertemu di kota kecil ini, di sebuah pameran foto bertema “Waktu yang Tak Kembali.”
Aku datang karena tugas kantor, Arven datang karena ia fotografernya.

Ia tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar seperti punya jeda yang membuat dunia ikut berhenti.
“Aku memotret bukan untuk mengingat,” katanya waktu itu, “tapi untuk berdamai dengan hal-hal yang sudah tak bisa kuingat.”

Entah kenapa, kalimat itu seperti sedang ditulis untukku.
Sejak kecil, aku hidup berpindah-pindah—rumah, kota, bahkan arah hidup. Mungkin karena itu, aku punya kebiasaan aneh: takut pada kenangan.
Dan entah karena apa, Arven datang seperti seseorang yang mengerti cara menenangkan rasa takut itu.

Hubungan kami tidak romantis dalam arti umum. Kami tidak pernah merayakan hari jadi, tidak pernah menulis “aku cinta kamu”.
Yang kami punya hanya sore-sore panjang di tepi laut, tempat kami duduk berdua, membicarakan hal-hal kecil yang terasa besar kalau dibicarakan dengan seseorang yang tepat.

“Apa kau tahu kenapa orang suka menatap senja?” tanya Arven suatu sore.
“Karena indah?” jawabku polos.

Ia tertawa kecil. “Karena senja itu jujur. Ia tak berjanji jadi pagi, tapi ia selalu datang memberi perpisahan yang indah.”

Aku tidak menjawab. Tapi sejak hari itu, aku tahu — setiap kali matahari turun, aku sedang menunggu seseorang yang jujur, tapi tak menetap.

Suatu hari, Arven mendapat tawaran kerja di luar negeri.
Ia datang ke rumah membawa kopi dan wajah yang sulit kuterka—antara bahagia dan takut.

“Raya,” katanya, “ini kesempatan besar. Tapi aku juga tahu, pergi berarti meninggalkan banyak hal yang belum sempat jadi apa-apa.”

Aku tersenyum, meski dada rasanya berdesir.
“Pergilah,” kataku. “Aku tak mau jadi alasanmu menyesal.”

Ia menatapku lama. “Kalau aku pergi, apa kau akan menunggu?”

Aku menatap laut di balik jendela. “Aku tidak tahu. Tapi aku akan tetap di sini, di tepi senja yang sama. Kalau kau pulang, mungkin kau akan menemukan aku masih menatap arah yang sama.”

Ia tertawa kecil, lalu mendekat.
“Kalau begitu, kita sepakat. Di ujung senja ini, akan selalu ada kita. Walau nanti tanpa nama.”

Arven pergi minggu berikutnya.
Tanpa janji, tanpa perpisahan berlebihan.
Dan entah kenapa, aku justru merasa kehilangan hal yang belum sempat sepenuhnya kumiliki.

Hari-hari setelahnya berjalan seperti air laut yang pasang-surut.
Aku tetap bekerja, menulis, bahkan sesekali tersenyum. Tapi di jam-jam sore, ketika langit berubah oranye dan bayangan memanjang di pasir, aku selalu kembali ke tempat itu—tepi pantai yang sama.

Aku menunggu.
Entah untuk apa, entah untuk siapa.

Dua tahun berlalu.

Sampai suatu sore, aku mendengar langkah kaki di belakang.
Langkah yang lambat, seperti seseorang yang sedang menapak di antara masa lalu dan masa kini.

Aku menoleh.

Arven berdiri di sana.

Rambutnya lebih panjang, matanya lebih tenang, tapi di wajahnya ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
“Aku kembali,” katanya singkat.

Aku menatapnya lama. “Sudah kuduga,” jawabku, berusaha tersenyum. “Senja terlalu indah kalau dilewatkan sendirian.”

Kami duduk di pasir, membiarkan waktu berjalan tanpa tergesa.
Arven bercerita tentang perjalanan, tentang kota-kota yang sunyi, tentang foto-foto yang gagal ia maknai.
“Dan pada akhirnya,” katanya, “aku sadar. Tak semua yang hilang harus dicari. Beberapa cukup dikenang dengan tenang.”

Aku menatapnya, menahan air mata yang tak perlu tumpah.
“Lalu kenapa kau ke sini?”

Ia menatapku balik. “Karena aku ingin tahu apakah masih ada seseorang yang menatap arah yang sama denganku.”

Aku menunduk. “Masih,” bisikku. “Tapi aku sudah berhenti menunggu.”

Matahari mulai turun sepenuhnya.
Senja berubah keunguan, dan ombak makin tinggi.

“Raya,” katanya pelan, “aku minta maaf.”

“Untuk apa?”

“Untuk semua hal yang tak sempat aku beri nama. Termasuk perasaan ini.”

Aku tertawa lirih. “Kau tahu, Arven? Kadang sesuatu justru lebih abadi saat tak dinamai. Karena begitu kau beri nama, kau juga memberi batas.”

Ia menatapku lama, seolah menyimpan setiap kata itu di kepalanya.
“Aku lupa bagaimana rasanya menatapmu tanpa merasa bersalah,” katanya akhirnya.

“Dan aku,” jawabku, “sudah belajar menatapmu tanpa berharap apa-apa.”

Kami diam lama.
Laut di depan kami memantulkan cahaya terakhir matahari.
Dan di antara bunyi ombak itu, aku merasa semesta sedang berbisik: Sudah cukup, kalian sudah saling menemukan dalam bentuk paling tenang yang bisa kalian jalani.

Arven berdiri, menepuk pasir di celananya. “Aku akan berangkat lagi minggu depan,” katanya. “Tapi kali ini bukan untuk lari.”

Aku tersenyum. “Pergilah. Dunia butuh orang yang tahu cara melihat cahaya meski dari kegelapan.”

Ia mengangguk, lalu memotretku sekali lagi—dengan latar langit jingga.
“Untuk terakhir kalinya,” katanya, “aku ingin mengingatmu di ujung senja. Karena setelah ini, aku ingin mencintai hidupku tanpa bayanganmu.”

Ia pergi.
Aku tak menahannya.

Dan sore itu, aku akhirnya menulis sesuatu di buku catatanku — kalimat yang sudah terlalu lama kutahan:

“Beberapa orang datang ke hidup kita bukan untuk menetap,
tapi untuk menunjukkan cara menatap cahaya tanpa harus memiliki sumbernya.

Aku kehilanganmu, Arven. Tapi di kehilangan itu, aku menemukan diriku sendiri.”

Tiga bulan kemudian, aku menerima sebuah paket kecil.
Isinya satu foto: gambar langit senja di pantai tempat kami sering duduk.
Di bawahnya, tulisan tangan Arven:

Terima kasih, Raya. Karena pernah menjadi rumah di waktu yang bahkan matahari pun kehilangan namanya.

Aku menatap foto itu lama.
Lalu tersenyum.

Malam itu, aku kembali ke pantai sendirian.
Langit gelap, tapi di ufuk barat masih ada sedikit garis oranye—sisa senja yang enggan padam.
Aku berdiri di sana, menatap laut yang bergerak pelan, dan untuk pertama kalinya, aku berani mengucapkan doa tanpa rasa kehilangan.

“Ya Tuhan, kalau ini yang terbaik, jangan kembalikan dia.
Tapi tolong, jangan hapus semua kenangan baik yang pernah kami punya.”

Aku menutup mata, dan angin menjawab lembut.

Senja malam itu tidak punya nama.
Tapi di sanalah aku akhirnya tahu:
yang tidak bernama tidak selalu berarti hilang.
Kadang, ia hanya menunggu di dalam hati—di ujung senja, tempat cinta tak lagi butuh definisi.

TOP CONTRIBUTOR

Of The Month

JANGAN LEWATKAN CERITA BARU

Ikuti kabar, cerita, dan apresiasi terbaru. Jadilah Penjelajah Cerita yang selalu terhubung.

Satu cara kecil untuk tetap terhubung dengan semesta yang kamu cintai.

TOP CONTRIBUTOR

Of The Month

JANGAN LEWATKAN CERITA BARU

Ikuti kabar, cerita, dan apresiasi terbaru. Jadilah Penjelajah Cerita yang selalu terhubung.

Satu cara kecil untuk tetap terhubung dengan semesta yang kamu cintai.

TOP CONTRIBUTOR

Of The Month

JANGAN LEWATKAN CERITA BARU

Ikuti kabar, cerita, dan apresiasi terbaru. Jadilah Penjelajah Cerita yang selalu terhubung.

Satu cara kecil untuk tetap terhubung dengan semesta yang kamu cintai.

PENGHARGAN BULANAN — TOP CONTRIBUTOR

Jadilah Kontributor Terbaik dan raih apresiasi setiap bulan. Dapatkan Merchandise Eksklusif dari Semesta Bercerita sebagai bentuk penghargaan atas kontribusimu.

Kami menghargai setiap Penjelajah Cerita yang hadir, berinteraksi, dan menjaga semesta ini tetap hidup. Setiap bulan, kami akan memilih Top Contributor — mereka yang aktif membagikan snap story, meninggalkan komentar, melakukan tag, dan ikut bersuara di setiap kisah yang kami bagikan. Karena setiap dukungan, sekecil apa pun, berarti bagi semesta ini.

PENGHARGAN BULANAN — TOP CONTRIBUTOR

Jadilah Kontributor Terbaik dan raih apresiasi setiap bulan. Dapatkan Merchandise Eksklusif dari Semesta Bercerita sebagai bentuk penghargaan atas kontribusimu.

Kami menghargai setiap Penjelajah Cerita yang hadir, berinteraksi, dan menjaga semesta ini tetap hidup. Setiap bulan, kami akan memilih Top Contributor — mereka yang aktif membagikan snap story, meninggalkan komentar, melakukan tag, dan ikut bersuara di setiap kisah yang kami bagikan. Karena setiap dukungan, sekecil apa pun, berarti bagi semesta ini.

PENGHARGAN BULANAN — TOP CONTRIBUTOR

Jadilah Kontributor Terbaik dan raih apresiasi setiap bulan. Dapatkan Merchandise Eksklusif dari Semesta Bercerita sebagai bentuk penghargaan atas kontribusimu.

Kami menghargai setiap Penjelajah Cerita yang hadir, berinteraksi, dan menjaga semesta ini tetap hidup. Setiap bulan, kami akan memilih Top Contributor — mereka yang aktif membagikan snap story, meninggalkan komentar, melakukan tag, dan ikut bersuara di setiap kisah yang kami bagikan. Karena setiap dukungan, sekecil apa pun, berarti bagi semesta ini.

Di dunia yang terus berlari, kita perlahan kehilangan jeda untuk benar-benar merasa. Banyak hal dibiarkan mengendap; kata yang tidak sempat terucap, perasaan yang tidak tahu harus pulang ke mana. Kita tertawa di hadapan ramai, namun diam-diam menyimpan sunyi yang memantul di dalam dada. Lalu waktu berlalu begitu saja. Tanpa kita sadari, ada bagian dari diri yang ingin didengar, ingin dipeluk, ingin diberi ruang untuk jujur tanpa harus kuat setiap saat.


Semesta Bercerita tercipta sebagai ruang yang pelan, tempat kata menemukan makna, luka menemukan jeda, dan jiwa beristirahat tanpa perlu menyembunyikan apa-apa. Di sini, setiap kisah dihargai, setiap suara berarti, dan setiap rasa diterima apa adanya. Kami percaya bahwa cerita mampu menyembuhkan, mempertemukan, dan menyalakan kembali cahaya kecil di dalam diri. Di antara sunyi dan suara, kita akan tumbuh bersama: menulis, mendengar, dan saling menguatkan, satu cerita pada satu waktu.

Di dunia yang terus berlari, kita perlahan kehilangan jeda untuk benar-benar merasa. Banyak hal dibiarkan mengendap; kata yang tidak sempat terucap, perasaan yang tidak tahu harus pulang ke mana. Kita tertawa di hadapan ramai, namun diam-diam menyimpan sunyi yang memantul di dalam dada. Lalu waktu berlalu begitu saja. Tanpa kita sadari, ada bagian dari diri yang ingin didengar, ingin dipeluk, ingin diberi ruang untuk jujur tanpa harus kuat setiap saat.


Semesta Bercerita tercipta sebagai ruang yang pelan, tempat kata menemukan makna, luka menemukan jeda, dan jiwa beristirahat tanpa perlu menyembunyikan apa-apa. Di sini, setiap kisah dihargai, setiap suara berarti, dan setiap rasa diterima apa adanya. Kami percaya bahwa cerita mampu menyembuhkan, mempertemukan, dan menyalakan kembali cahaya kecil di dalam diri. Di antara sunyi dan suara, kita akan tumbuh bersama: menulis, mendengar, dan saling menguatkan, satu cerita pada satu waktu.

Di dunia yang terus berlari, kita perlahan kehilangan jeda untuk benar-benar merasa. Banyak hal dibiarkan mengendap; kata yang tidak sempat terucap, perasaan yang tidak tahu harus pulang ke mana. Kita tertawa di hadapan ramai, namun diam-diam menyimpan sunyi yang memantul di dalam dada. Lalu waktu berlalu begitu saja. Tanpa kita sadari, ada bagian dari diri yang ingin didengar, ingin dipeluk, ingin diberi ruang untuk jujur tanpa harus kuat setiap saat.


Semesta Bercerita tercipta sebagai ruang yang pelan, tempat kata menemukan makna, luka menemukan jeda, dan jiwa beristirahat tanpa perlu menyembunyikan apa-apa. Di sini, setiap kisah dihargai, setiap suara berarti, dan setiap rasa diterima apa adanya. Kami percaya bahwa cerita mampu menyembuhkan, mempertemukan, dan menyalakan kembali cahaya kecil di dalam diri. Di antara sunyi dan suara, kita akan tumbuh bersama: menulis, mendengar, dan saling menguatkan, satu cerita pada satu waktu.

© 2025 SEMESTA BERCERITA - ALL RIGHTS RESEVED

© 2025 SEMESTA BERCERITA - ALL RIGHTS RESEVED

© 2025 SEMESTA BERCERITA - ALL RIGHTS RESEVED

SEMESTA

MENU

SEMESTA

MENU

SEMESTA

MENU