Ada jarak yang tidak diukur oleh kilometer, melainkan oleh keberanian untuk menunggu.
Dan di antara jeda dan waktu, aku belajar bahwa mencintai seseorang berarti mengizinkan diri sendiri untuk sabar di dalam ketidakpastian.
Hujan turun seperti biasa — deras, tergesa-gesa, dan dingin. Di bawah atap halte yang sempit, aku menatap jalanan yang mulai memantulkan cahaya lampu kota. Ada aroma aspal basah, kopi instan dari warung seberang, dan percakapan yang seolah tak pernah berpihak pada siapa pun.
Kau pernah bilang, “Hujan itu jeda. Bukan akhir, bukan juga awal. Ia cuma pengingat bahwa segala sesuatu butuh berhenti sebentar.”
Kini aku tahu, mungkin cintaku padamu juga begitu: sebuah hujan yang tak pernah benar-benar reda, hanya berganti intensitas.
Aku masih ingat sore terakhir kita bertemu. Di kafe kecil dengan dinding bata merah dan musik jazz yang samar, kau duduk di seberangku — menggenggam cangkir seperti sedang menahan sesuatu agar tidak tumpah. Aku tahu, kau ingin bicara. Aku juga tahu, kata-kata itu akan mengubah segalanya.
“Aku dapat tawaran kerja di luar kota,” katamu akhirnya.
Kalimat itu jatuh di antara sendok dan gelas, di antara degup jantung dan tatapan yang pura-pura tenang. Aku mencoba tersenyum, tapi yang keluar hanya gumaman pelan, “Kapan berangkat?”
“Lusa.”
Waktu, rupanya, tidak memberi kita jeda untuk bernegosiasi.
Sejak hari itu, aku belajar hidup di antara jeda dan waktu.
Setiap pagi, aku menatap ponsel — menunggu pesan yang kadang datang, kadang hilang tanpa pamit.
Setiap malam, aku memutar lagu yang sama berulang-ulang, seolah di antara nada dan liriknya terselip jejak langkahmu.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri:
Apakah menunggu termasuk bentuk keberanian, atau justru bentuk ketakutan paling halus?
Sebab di antara jeda dan waktu, yang paling sering datang bukan kabar, melainkan kenangan.
Suatu malam, aku menerima surat elektronik darimu.
Bukan kabar bahagia, bukan juga salam perpisahan, tapi kalimat yang menempel di kepalaku sampai hari ini:
“Aku takut, jika aku kembali, semuanya sudah berbeda.”
Aku tidak membalas.
Karena aku juga takut, kalau aku menjawab, semuanya benar-benar akan berubah.
Jadi aku biarkan pesan itu menggantung di udara, seperti jeda yang tak pernah ditutup.
Seperti hujan yang terus jatuh tapi tak pernah sampai di tanah.
Tahun berganti.
Aku belajar menata hidup, meski di dalamnya masih ada ruang kecil yang menolak dirapikan.
Kadang, saat berjalan di trotoar yang sama tempat kita dulu berbagi payung, aku mendengar bayangan langkahmu di antara derap orang-orang.
Aku tahu itu ilusi, tapi aku biarkan saja.
Karena kadang rindu juga butuh tempat untuk bernapas, walau sesaat.
Dan entah mengapa, di setiap jeda kehidupanku, waktu selalu memanggil namamu dengan cara yang lembut.
Suatu pagi, setelah sekian tahun, aku menerima kabar:
Kau kembali.
Bukan lewat pesan, bukan lewat panggilan, tapi lewat takdir yang diam-diam mempertemukan kita di tempat yang dulu — kafe bata merah yang kini menjelma menjadi toko buku kecil.
Kau berdiri di sana, menatap deretan buku puisi, seperti dulu kau menatapku — tidak buru-buru, tapi juga tidak benar-benar bisa lepas.
Aku menghampiri dengan langkah hati-hati.
“Masih suka kopi hitam tanpa gula?” tanyaku.
Kau menoleh, dan senyum itu — yang pernah membuat dunia berhenti berputar selama beberapa detik — muncul lagi.
“Masih,” jawabmu. “Tapi sekarang aku bisa menikmatinya dengan sedikit manis.”
Aku tertawa.
Mungkin waktu memang mengubah banyak hal, tapi ternyata tidak semuanya.
Kita duduk di meja yang sama, dengan dua cangkir kopi dan percakapan yang terasa seperti memungut kembali potongan-potongan masa lalu.
Tidak ada drama, tidak ada air mata.
Hanya keheningan yang manis, seperti jeda yang akhirnya menemukan ujungnya.
Matahari sore menyelinap masuk lewat jendela kaca, menyentuh wajahmu pelan.
Di detik itu, aku sadar:
Cinta tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berpindah bentuk — dari pertemuan menjadi doa, dari kehilangan menjadi pemahaman, dari waktu yang terlewat menjadi ruang untuk tumbuh.
Dan di antara jeda dan waktu itu, aku menemukan sesuatu yang lebih penting daripada memiliki — ketenangan untuk tidak lagi menuntut apa pun dari cinta.
Ketika kau pamit sore itu, aku tidak lagi takut.
Aku tahu, mungkin esok kita akan berjalan ke arah yang berbeda lagi.
Tapi aku juga tahu, di suatu tempat di antara jeda dan waktu, kita pernah menjadi dua manusia yang saling menunggu tanpa saling menyakiti.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
“Cinta bukan tentang siapa yang datang duluan, atau siapa yang bertahan paling lama.
Tapi tentang siapa yang berani tinggal di jeda — menunggu tanpa tahu, mencintai tanpa pamrih.”
Aku menatapmu pergi, kali ini tanpa air mata.
Karena kini, aku sudah berdamai dengan waktu.
Dan di antara jeda yang tersisa, aku hanya berbisik pelan,
“Terima kasih sudah kembali — walau hanya sebentar.”



