Hari itu, senja terasa lebih lambat dari biasanya.
Matahari seperti enggan pergi, meneteskan cahaya keemasan di atas kota yang mulai bernafas pelan setelah hiruk pikuk siang. Di balkon rumah kecilku yang menghadap ke arah barat, aku duduk sendirian dengan secangkir teh melati yang mulai dingin. Aroma samar bunganya bercampur dengan udara lembab selepas hujan.
Sudah dua tahun sejak Arga pergi — tanpa marah, tanpa perpisahan yang indah, hanya dengan satu kalimat pendek yang masih terngiang di kepalaku:
“Aku ingin menulis hidupku sendiri, Dira, sebelum semuanya terlambat.”
Aku tidak pernah benar-benar tahu apa maksudnya, tapi aku tidak menahannya.
Mungkin karena aku tahu, ada cinta yang justru tumbuh dalam kepergian.
Kami dulu bertemu di tempat yang tidak romantis sama sekali — ruang redaksi sebuah majalah kecil di Yogyakarta. Aku penulis lepas, Arga fotografer yang baru pindah dari Bandung. Ia selalu datang terlambat, membawa aroma kopi dan kamera yang tergantung di lehernya, seolah dunia hanya berputar di antara cahaya dan bayangan yang bisa ia tangkap dengan lensa.
Arga tidak pernah pandai bicara, tapi setiap kali kami duduk berdampingan, dunia terasa seperti melambat. Ia sering menunjuk foto-foto hasil bidikannya, menanyakan pendapatku tentang “cerita di balik warna.”
Suatu hari, ia berkata, “Setiap foto punya waktu yang tidak bisa diulang. Tapi setiap orang punya waktu untuk menatapnya kembali.”
Kalimat itu, tanpa sadar, menempel di hatiku.
Kami dekat perlahan, bukan lewat rayuan, tapi lewat diam yang saling mengerti. Ia membawaku memotret matahari terbit di Parangtritis, memotret petani di Sleman, dan senja di Kaliurang. Kadang kami tidak bicara sama sekali, hanya duduk menatap langit yang berubah warna, membiarkan waktu bekerja tanpa tekanan.
Tapi semua ketenangan itu mulai retak saat Arga kehilangan ibunya.
Hari itu, aku menemukannya di studio foto, menatap potret hitam putih perempuan tua dengan tatapan yang asing. Ia tidak menangis, hanya menatap lama, seperti mencoba mengingat sesuatu yang hilang di dalam dirinya.
“Aku kira aku siap,” katanya. “Tapi ternyata kehilangan tidak pernah bisa dipelajari.”
Aku memeluknya waktu itu.
Untuk pertama kalinya, tubuhnya gemetar.
Untuk pertama kalinya pula aku menyadari betapa rapuhnya seseorang yang terlihat kuat di permukaan.
Sejak hari itu, Arga berubah. Ia mulai jarang bicara, lebih sering menghilang berhari-hari untuk “mencari cahaya baru.” Kadang ia kembali dengan wajah lelah, membawa gulungan film yang belum sempat dicuci. Kadang, ia tidak kembali sama sekali — hanya meninggalkan pesan pendek di ponselku:
“Aku harus pergi sebentar. Jangan tunggu.”
Aku menunggu juga, tentu saja.
Karena mencintai seseorang seperti Arga berarti belajar berdamai dengan ketidakhadiran.
Suatu sore, ia datang ke rumahku membawa kamera, tapi kali ini tanpa senyum.
“Aku dapat tawaran pameran di Jakarta,” katanya pelan.
“Bagus dong,” jawabku, mencoba tersenyum. “Itu mimpimu, kan?”
Ia menatapku lama.
“Ya, tapi aku nggak yakin ini masih tentang mimpi. Aku cuma ingin… mengingat Ibu dengan cara yang nggak menyakitkan.”
Lalu ia menatap langit, dan berkata pelan, “Aku akan pergi. Mungkin lama.”
Aku menatap cangkir di tanganku, lalu berkata tanpa berani menatapnya,
“Kalau kau pergi, aku harus nunggu berapa lama?”
Ia tertawa kecil. “Sampai senja tak lagi membuatmu sedih.”
Setelah ia pergi, aku tidak pernah benar-benar bisa menikmati senja lagi.
Warna oranye di langit terasa seperti luka yang tidak kunjung sembuh.
Aku menghindarinya — menutup jendela setiap sore, sibuk bekerja sampai malam, bahkan memindahkan meja kerja ke sisi timur rumah supaya tak melihat arah matahari terbenam. Tapi sekuat apa pun aku mencoba, setiap sore selalu membawa aroma yang sama: wangi kopi, suara pintu kayu, dan bayangan seseorang yang tidak pernah kembali.
Waktu berjalan seperti air yang pasrah mengikuti arusnya.
Musim berganti, pekerjaanku pindah ke Jakarta. Hidupku terlihat baik di permukaan: aku menulis buku, menghadiri pameran, bahkan tersenyum di depan kamera televisi ketika diwawancarai tentang “karya sastra yang lahir dari kehilangan.” Tapi di balik semua itu, aku tahu, ada satu bab dalam hidupku yang belum kutulis dengan tuntas.
Suatu sore, setelah menghadiri diskusi buku di Tebet, aku berjalan tanpa arah dan tiba-tiba berhenti di depan galeri foto kecil. Dari luar, kaca jendelanya berembun, tapi aku masih bisa melihat tulisan besar di dinding dalam:
“Dekapan Senja — Pameran Tunggal Arga Pradipta.”
Dunia berhenti seketika.
Aku berdiri terpaku di depan pintu, jantungku berdegup seperti langkah kecil yang gugup.
Di bawah tulisan itu, ada foto besar: langit jingga dengan siluet dua orang duduk di tepi danau. Aku tahu foto itu. Itu foto kami — dari sore terakhir di Kaliurang, sebelum ia pergi.
Aku masuk perlahan.
Di dalam, ruangan penuh dengan foto-foto senja dari berbagai tempat: jembatan tua, rumah kosong, kursi taman yang kosong, dan… wajah ibunya. Tapi di antara semua itu, ada satu foto yang membuatku berhenti: gambar dua cangkir teh di meja kayu, satu penuh, satu kosong. Di bawahnya, ada tulisan kecil, tangan Arga sendiri:
“Kepada seseorang yang selalu menunggu tanpa tahu untuk siapa.”
Aku hampir tak bisa bernapas.
Ketika acara selesai, aku menunggu sampai ruangan sepi.
Arga akhirnya keluar dari belakang panggung, masih dengan kamera menggantung di lehernya. Rambutnya lebih panjang, matanya lebih tenang.
“Dira?” katanya pelan, seolah tak percaya aku benar-benar berdiri di sana.
Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus berkata apa.
Kami saling menatap lama, dan untuk pertama kalinya, aku melihat di matanya bukan lagi rasa bersalah, tapi kedewasaan.
“Senja di fotomu masih terasa sama,” kataku akhirnya.
Arga menggeleng. “Tidak. Kali ini aku memotretnya tanpa takut kehilangan.”
Kami duduk di sudut ruangan, membiarkan waktu melambat. Tak ada permintaan maaf, tak ada janji baru, hanya dua orang yang akhirnya saling mengerti bahwa cinta bukan soal memiliki, tapi soal menemukan kedamaian di tempat yang sama — bahkan setelah waktu mengubah segalanya.
Ketika matahari di luar galeri mulai tenggelam, cahaya jingga menembus jendela kaca dan menyentuh wajah kami.
Arga menatap langit sebentar, lalu berkata pelan,
“Dulu aku selalu takut senja karena aku kira ia pertanda berakhir. Tapi ternyata, ia cuma cara semesta memeluk kita sebelum malam datang.”
Aku menatapnya, dan untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, aku merasa bisa bernapas tanpa rasa kehilangan.
Kami tidak tahu apakah ini pertemuan terakhir atau awal yang baru. Tapi di detik itu, kami sama-sama tahu: tidak semua cinta harus dikejar, sebagian cukup disyukuri.
Malam turun perlahan.
Di depan galeri, kami berdiri berdampingan.
Arga menatapku dengan senyum yang hangat tapi tenang. “Kau tahu?” katanya, “Mungkin dulu aku pergi karena takut mencintai terlalu lama. Tapi sekarang, aku ingin mencintai dengan cara yang tidak tergesa — seperti senja.”
Aku tertawa kecil. “Lalu aku?”
“Kau,” katanya pelan, “adalah senjaku. Tidak datang setiap waktu, tapi selalu kucari ketika aku ingin pulang.”
Kami tidak berpelukan.
Kami hanya berdiri dalam diam, membiarkan cahaya terakhir sore itu menyelimuti kami berdua.
Di antara cahaya jingga dan udara yang mulai dingin, aku tahu, cerita ini tidak akan berakhir dengan kepergian lagi — tapi dengan kedewasaan yang menenangkan.
Malam itu, di dalam dekapan senja yang perlahan padam,
aku merasa seluruh luka akhirnya menemukan rumahnya: bukan pada seseorang,
tapi pada pemahaman bahwa setiap perpisahan, jika diterima dengan hati yang damai,
selalu berubah menjadi pelukan yang abadi.



