Tiga tahun belajar tanpa jeda.
Buku-buku menumpuk di meja, lembar ujian penuh coretan, mata yang menahan kantuk demi nilai sempurna.
Semua itu dilakukan demi satu tujuan: masuk universitas impian lewat jalur prestasi.
Hari itu, situs pendaftaran SNBP akhirnya dibuka.
Senyum sempat muncul di wajah seorang siswa berprestasi dari sebuah sekolah negeri di kota kecil.
Namanya tercatat dalam daftar “eligible” tanda bahwa usahanya diakui, bahwa jalannya menuju masa depan sudah terbuka.
Tapi senyum itu tidak bertahan lama.
Ketika halaman situs di-refresh, muncul tulisan yang tak masuk akal:
“Data Anda tidak ditemukan.”
Sekejap, semua usaha terasa tak berarti.
Ia menatap layar berulang-ulang, berharap itu hanya kesalahan jaringan.
Namun tak ada perubahan. Di grup kelas, pesan-pesan mulai bermunculan panik, bingung, tidak percaya.
Bukan hanya satu atau dua orang.
Puluhan siswa mengalami hal yang sama.
Mereka segera menghubungi pihak sekolah.
Jawaban yang datang membuat dada semakin sesak.
“Maaf, kami lupa melakukan finalisasi data di PDSS.”
Satu kata.
Maaf.
Begitu ringan diucapkan, tapi begitu berat diterima oleh mereka yang kehilangan sesuatu yang tak bisa diulang.
Bagaimana rasanya tahu bahwa tiga tahun perjuangan hilang begitu saja karena kelalaian orang lain?
Bagaimana rasanya menyadari bahwa kesempatan yang seharusnya menjadi milikmu, lenyap hanya karena satu tombol yang tidak ditekan?
Anak-anak itu bukan gagal karena nilai.
Mereka gagal karena sistem yang lalai.
Gagal tanpa diberi kesempatan untuk membuktikan diri.
Beberapa hari kemudian, media mulai meliput.
Foto-foto siswa memegang spanduk bertuliskan “Kami Berhak SNBP” tersebar di dunia maya.
Sebagian dari mereka mencoba tetap tegar, berjanji akan ikut jalur tes mandiri.
Namun di balik wajah yang berusaha kuat, ada kesedihan yang sulit dijelaskan —
karena ini bukan tentang kalah dalam ujian,
ini tentang kehilangan sesuatu yang sudah semestinya menjadi hak mereka.
Seorang siswa menulis di buku hariannya:
“Aku tidak gagal karena nilai. Aku gagal karena kelalaian yang bukan salahku.”
Kalimat itu sederhana, tapi menyimpan luka dalam.
Ia bukan hanya mewakili dirinya,
tapi juga banyak anak lain yang merasa tidak didengar dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Pendidikan seharusnya menjadi tempat paling aman untuk bermimpi.
Tapi bagi mereka, pendidikan justru menjadi pintu yang tertutup sebelum sempat diketuk.
Dan yang paling menyakitkan bukanlah gagal,
melainkan tahu bahwa kegagalan itu bisa dihindari
jika saja seseorang sedikit lebih peduli.
Sisi Lain Cerita
Tidak semua kehilangan disebabkan oleh kesalahan diri.
Kadang, yang paling melukai adalah ketika usaha dan harapan hancur bukan karena kita tidak cukup mampu, tapi karena kita tidak cukup diperhatikan.
Terinspirasi dari kisah nyata.
Ditulis ulang oleh tim Semesta Bercerita untuk menghadirkan makna dari sisi lain kehidupan.






