Azan magrib baru saja usai ketika Aira sadar: malam ini, untuk pertama kalinya, ia takut menyebut satu nama dalam doanya.

Bukan karena cintanya sudah hilang.
Bukan karena ia marah.

Tapi karena ia tahu, kalau malam ini ia masih menyebut nama itu, ia tidak akan pernah benar-benar merelakannya.

Di luar, hujan turun pelan. Angin membawa aroma tanah basah masuk lewat celah jendela. Di ruang tengah yang temaram, Aira menggelar sajadah hijau, sajadah yang dulu pernah mereka pakai berdua.

Dulu, ketika doa masih tentang harapan, bukan perpisahan.

Namanya Fajar.

Mereka bertemu di kajian kampus, dipasangkan dalam tugas presentasi fiqh keluarga. Fajar waktu itu tertawa, “Kita belum apa-apa sudah bahas rumah tangga.” Aira hanya tersenyum malu, “Jangan halu, ini cuma tugas.”

Tapi setelah itu Fajar selalu datang. Menjemput di depan masjid, mengirim materi, dan selalu bilang, “Kita pelajari ilmunya dulu, biar kalau suatu hari Allah kasih jalannya, kita udah siap.”

“Aku sama siapa?” tanya Aira pura-pura.

“Ya sama yang Allah pilihkan,” jawab Fajar. “Kalau boleh milih… ya kamu.”

Hubungan mereka berjalan sehat: nggak umbar, nggak drama, nggak tarik-ulur. Aira suka menulis, Fajar suka ngajarin anak-anak ngaji. Arah mereka sama: kalau serius, bawa ke orang tua.

Sampai Allah uji di titik yang paling nggak enak.

Ibu Aira sakit cukup berat. Rumah penuh jadwal kontrol. Ayahnya harus ke kampung karena kakek wafat. Suasana rumah bukan suasana “menerima tamu calon menantu”. Fajar datang ke teras rumah dan berkata, “Aku tunggu, Ra. Serius. Aku nggak ke mana-mana.”

Aira mengangguk, tapi ada rasa yang mengganjal: jangan-jangan aku malah jadi penghalang rezekinya.

Beberapa hari kemudian Fajar kirim pesan panjang:

*Aira, hari ini ustazku datang. Beliau bilang kalau sudah mampu, jangan kelamaan di wilayah yang belum halal. Doa itu perlu pintu, dan pintunya itu nikah.

Aku pengin kamu yang pertama aku ajak. Tapi aku juga lihat kondisi keluargamu lagi berat.

Kalau aku diminta nikah lebih cepat dan keluargamu belum bisa diajak bicara, aku harus nunggu… atau aku boleh jalan dulu?

Tolong jangan salah paham. Aku nanya sambil gemetar. Aku pengin kamu tetap ada di doa, bukan jadi luka di doa.*

Pesan itu Aira baca berkali-kali.
Ia ingin jawab: “Tunggu aku.”
Tapi hatinya bertanya: Apa kau mau menahan laki-laki saleh hanya karena kondisimu belum siap?

Malam itu ia salat. Sujudnya lama. Tapi nama itu, nama yang biasanya ia sebut di antara “rabbana hablana”, tidak ia ucapkan. Hanya air mata.

Akhirnya ia balas:

Kamu boleh nikah, Jar.
Tapi izinkan aku mencintaimu dari jauh. Jangan hapus aku dari doa. Kalau istrimu nggak berkenan, ya hapus. Tapi sebelum itu, izinkan aku menyebut namamu di hadapan Allah untuk terakhir kali.

Balasan Fajar datang cepat:

*Kalimatmu berat banget.
Aku ngerti.
Aku sayang kamu.
Tapi kalau ini cara Allah jaga kita… ya sudah.

Doain aku, Ra.
Aku nggak akan lupa kamu, meski nanti aku nggak boleh lagi sebut kamu.*

Hari pernikahan Fajar, Aira nggak datang. Ia cuma lihat dari foto. Gaun putih, pengantin bercadar, Fajar tersenyum dengan senyum yang pernah ia hafal. Dadanya sakit, bukan iri, bukan cemburu, tapi rasa aneh: ini kayak lihat rumah yang aku rancang, dipakai orang lain.

Malamnya, ia menunda isya. Bukan karena malas, tapi karena ia tahu: malam ini ia pamit.

Ia wudu pelan. Lampu kamar diredupkan. Sajadah digelar.

Takbir.

Salatnya pendek. Hatinya penuh.

Di sujud pertama, lidahnya hampir terpeleset:
“Ya Allah, jagalah… Fa-”

Ia tahan.

“Ya Allah, jagalah dia yang pernah Engkau titipkan sebentar di hatiku.”

Selesai salam, ia duduk. Tangannya terangkat. Suaranya lirih:

“Ya Allah… ini sujud yang terakhir kali menyebut namanya. Setelah ini aku mau belajar menyebut nama-Mu saja. Tapi tolong… bahagiakan dia. Lapangkan rumah tangganya. Jadikan istrinya teman terbaiknya.
Kalau Engkau tulis aku untuknya, satukan di surga.
Kalau tidak, jadikan ingatanku tentangnya sebagai kebaikan, bukan dosa.”

Air matanya jatuh membasahi sajadah. Ia tidak menahannya.
Malam itu, doanya bukan doa meminta.
Tapi doa melepaskan.

Malaikat; kalau memang mencatat rasa, pasti menulis: ini doa yang tidak egois.

Waktu berjalan.

Setahun kemudian, Aira sudah tidak menangis tiap lihat foto pasangan di Instagram. Ia sibuk ngurus ibu, nulis, ngajar. Hidupnya pelan tapi baik. Hanya ada satu ruang kecil yang sengaja ia biarkan kosong, bukan buat Fajar, tapi sebagai pengingat: aku pernah mencintai seseorang lalu aku relakan ia tidak menyebut namaku lagi.

Hingga suatu hari ponselnya berbunyi.

Dari Fajar.

Assalamualaikum, Aira.
Istriku mau belajar nulis. Boleh aku hubungkan ke kamu?

Aira bengong.
Dulu, kalau pesan seperti ini datang, mungkin ia meledak.
Tapi kini ia malah tersenyum.

Waalaikumsalam, Jar.
Boleh banget. Salam buat istrimu ya. Semoga Allah mudahkan kalian.

Ia kirim.
Dan ia… tidak menangis.

Pertemuan itu terjadi di kafe kecil.
Istri Fajar, Salma, datang dengan gamis biru, wajah teduh. Ia sopan, antusias, dan sama sekali tidak menyakitkan untuk dilihat.

“Mas Fajar sering cerita tentang Mbak Aira,” katanya. “Katanya Mbak orang baik.”

Aira tersenyum. “Mas Fajar juga orang baik.”

Mereka bertiga bicara santai. Tentang menulis, tentang platform, tentang anak yatim yang diajar Fajar. Rasanya… ringan. Tidak ada bayangan masa lalu yang pahit. Karena mereka sama-sama datang dari tempat yang diberkahi.

Selesai, Fajar mengantar ke parkiran. Salma sudah masuk mobil.

“Aira…” ucapnya pelan. “Aku nggak pernah lupa malam itu.”

“Malam apa?” Aira pura-pura.

“Malam kamu pamit lewat doa.”

Aira menunduk. “Kamu tahu?”

Fajar mengangguk. “Malam itu aku lagi sujud juga. Di rumah mertua. Di luar hujan. Tiba-tiba aku keinget kamu. Aku bilang ke Allah: Ya Allah, jagalah dia. Kalau dulu bukan dia, pasti karena Engkau lebih sayang kami daripada kami sayang satu sama lain.

Aira menutup mulut, menahan haru.

“Sekarang aku paham,” kata Fajar. “Doa itu bukan milik orang yang paling kenceng minta. Tapi milik orang yang paling berani mendoakan bahagia… meski dia nggak ada di dalamnya.”

Aira mengangguk. “Kita… sudah melakukannya.”

“Kamu yang duluan,” kata Fajar. “Kamu yang ngelepas dulu.”

“Kamu yang ngejaga nama aku,” balas Aira, “padahal aku udah kamu lepas.”

Mereka tersenyum.
Bukan senyum dua orang gagal bersatu.
Tapi senyum dua orang yang selamat karena memilih ridha.

Malamnya Aira pulang. Ia kembali gelar sajadah.
Tapi kali ini tidak ada lagi takut menyebut nama.
Ia sujud, dan berkata:

“Ya Allah… hari dulu aku sebut namanya untuk terakhir kali. Hari ini aku sebut nama-Mu untuk sepenuhnya.
Kalau masih ada cinta yang salah, bersihkan.
Kalau Engkau mau ganti, datangkan.
Kalau Engkau mau sendiri, cukupkan.”

Air matanya jatuh, bukan sedih, tapi lega.

Beberapa bulan kemudian, Allah mengirim seseorang yang datang ke rumah dengan cara paling baik: melamar lewat ibunya, tidak bawa masa lalu orang lain, tidak pakai rayuan, hanya bilang,

“Kalau kamu bisa mendoakan orang yang bukan jodohmu seikhlas itu, saya percaya kamu bisa mencintai jodohmu dengan sangat baik.”

Dan di situ Aira paham:

Sujud yang terakhir kali menyebut satu nama… bukan akhir dari cinta.
Itu awal dari cinta yang sudah disucikan.

TOP CONTRIBUTOR

Of The Month

JANGAN LEWATKAN CERITA BARU

Ikuti kabar, cerita, dan apresiasi terbaru. Jadilah Penjelajah Cerita yang selalu terhubung.

Satu cara kecil untuk tetap terhubung dengan semesta yang kamu cintai.

TOP CONTRIBUTOR

Of The Month

JANGAN LEWATKAN CERITA BARU

Ikuti kabar, cerita, dan apresiasi terbaru. Jadilah Penjelajah Cerita yang selalu terhubung.

Satu cara kecil untuk tetap terhubung dengan semesta yang kamu cintai.

TOP CONTRIBUTOR

Of The Month

JANGAN LEWATKAN CERITA BARU

Ikuti kabar, cerita, dan apresiasi terbaru. Jadilah Penjelajah Cerita yang selalu terhubung.

Satu cara kecil untuk tetap terhubung dengan semesta yang kamu cintai.

PENGHARGAN BULANAN — TOP CONTRIBUTOR

Jadilah Kontributor Terbaik dan raih apresiasi setiap bulan. Dapatkan Merchandise Eksklusif dari Semesta Bercerita sebagai bentuk penghargaan atas kontribusimu.

Kami menghargai setiap Penjelajah Cerita yang hadir, berinteraksi, dan menjaga semesta ini tetap hidup. Setiap bulan, kami akan memilih Top Contributor — mereka yang aktif membagikan snap story, meninggalkan komentar, melakukan tag, dan ikut bersuara di setiap kisah yang kami bagikan. Karena setiap dukungan, sekecil apa pun, berarti bagi semesta ini.

PENGHARGAN BULANAN — TOP CONTRIBUTOR

Jadilah Kontributor Terbaik dan raih apresiasi setiap bulan. Dapatkan Merchandise Eksklusif dari Semesta Bercerita sebagai bentuk penghargaan atas kontribusimu.

Kami menghargai setiap Penjelajah Cerita yang hadir, berinteraksi, dan menjaga semesta ini tetap hidup. Setiap bulan, kami akan memilih Top Contributor — mereka yang aktif membagikan snap story, meninggalkan komentar, melakukan tag, dan ikut bersuara di setiap kisah yang kami bagikan. Karena setiap dukungan, sekecil apa pun, berarti bagi semesta ini.

PENGHARGAN BULANAN — TOP CONTRIBUTOR

Jadilah Kontributor Terbaik dan raih apresiasi setiap bulan. Dapatkan Merchandise Eksklusif dari Semesta Bercerita sebagai bentuk penghargaan atas kontribusimu.

Kami menghargai setiap Penjelajah Cerita yang hadir, berinteraksi, dan menjaga semesta ini tetap hidup. Setiap bulan, kami akan memilih Top Contributor — mereka yang aktif membagikan snap story, meninggalkan komentar, melakukan tag, dan ikut bersuara di setiap kisah yang kami bagikan. Karena setiap dukungan, sekecil apa pun, berarti bagi semesta ini.

Di dunia yang terus berlari, kita perlahan kehilangan jeda untuk benar-benar merasa. Banyak hal dibiarkan mengendap; kata yang tidak sempat terucap, perasaan yang tidak tahu harus pulang ke mana. Kita tertawa di hadapan ramai, namun diam-diam menyimpan sunyi yang memantul di dalam dada. Lalu waktu berlalu begitu saja. Tanpa kita sadari, ada bagian dari diri yang ingin didengar, ingin dipeluk, ingin diberi ruang untuk jujur tanpa harus kuat setiap saat.


Semesta Bercerita tercipta sebagai ruang yang pelan, tempat kata menemukan makna, luka menemukan jeda, dan jiwa beristirahat tanpa perlu menyembunyikan apa-apa. Di sini, setiap kisah dihargai, setiap suara berarti, dan setiap rasa diterima apa adanya. Kami percaya bahwa cerita mampu menyembuhkan, mempertemukan, dan menyalakan kembali cahaya kecil di dalam diri. Di antara sunyi dan suara, kita akan tumbuh bersama: menulis, mendengar, dan saling menguatkan, satu cerita pada satu waktu.

Di dunia yang terus berlari, kita perlahan kehilangan jeda untuk benar-benar merasa. Banyak hal dibiarkan mengendap; kata yang tidak sempat terucap, perasaan yang tidak tahu harus pulang ke mana. Kita tertawa di hadapan ramai, namun diam-diam menyimpan sunyi yang memantul di dalam dada. Lalu waktu berlalu begitu saja. Tanpa kita sadari, ada bagian dari diri yang ingin didengar, ingin dipeluk, ingin diberi ruang untuk jujur tanpa harus kuat setiap saat.


Semesta Bercerita tercipta sebagai ruang yang pelan, tempat kata menemukan makna, luka menemukan jeda, dan jiwa beristirahat tanpa perlu menyembunyikan apa-apa. Di sini, setiap kisah dihargai, setiap suara berarti, dan setiap rasa diterima apa adanya. Kami percaya bahwa cerita mampu menyembuhkan, mempertemukan, dan menyalakan kembali cahaya kecil di dalam diri. Di antara sunyi dan suara, kita akan tumbuh bersama: menulis, mendengar, dan saling menguatkan, satu cerita pada satu waktu.

Di dunia yang terus berlari, kita perlahan kehilangan jeda untuk benar-benar merasa. Banyak hal dibiarkan mengendap; kata yang tidak sempat terucap, perasaan yang tidak tahu harus pulang ke mana. Kita tertawa di hadapan ramai, namun diam-diam menyimpan sunyi yang memantul di dalam dada. Lalu waktu berlalu begitu saja. Tanpa kita sadari, ada bagian dari diri yang ingin didengar, ingin dipeluk, ingin diberi ruang untuk jujur tanpa harus kuat setiap saat.


Semesta Bercerita tercipta sebagai ruang yang pelan, tempat kata menemukan makna, luka menemukan jeda, dan jiwa beristirahat tanpa perlu menyembunyikan apa-apa. Di sini, setiap kisah dihargai, setiap suara berarti, dan setiap rasa diterima apa adanya. Kami percaya bahwa cerita mampu menyembuhkan, mempertemukan, dan menyalakan kembali cahaya kecil di dalam diri. Di antara sunyi dan suara, kita akan tumbuh bersama: menulis, mendengar, dan saling menguatkan, satu cerita pada satu waktu.

© 2025 SEMESTA BERCERITA - ALL RIGHTS RESEVED

© 2025 SEMESTA BERCERITA - ALL RIGHTS RESEVED

© 2025 SEMESTA BERCERITA - ALL RIGHTS RESEVED

SEMESTA

MENU

SEMESTA

MENU

SEMESTA

MENU