Tak ada yang aku pikirkan selain Arsenna. Bahkan ketika aku tidak berminat lagi pada kehidupan, bahkan jika aku tidak mau memikirkan apa-apa, hidup seperti apa yang harus aku jalani, aku akan melakukan hanya untuk hidup saja. Begitu saja.
“Apa kau pernah merasakan sebuah pengalaman yang mengesankan?”
Aku akan menjawabnya: “Ya. Aku punya. Sore pada waktu yang itu.” Dengan senyum malu-malu, “Waktu pertama kali aku bertemu dengannya.”
Kau akan tersenyum juga. Aku ikut tersenyum. Itu hal lumrah, bukan? Semua orang pasti pernah mengalaminya hal pertama yang mengesankan, setidaknya sekali. Entah saat kau lulus tes PTN favoritm pilihan pertama, kau dinyatakan lulus wawancara kerja saat pertama, atau pun ketika kau mengunjungi sebuah tempat yang selama ini hanya ada dalam anganmu.
“Kalau begitu, pengalaman yang ingin kau hilangkan?”
“Sore waktu itu juga,” jawabku lagi.
Kenapa? Kau mungkin menaikkan alismu, keningmu sedikit mengerut. Memandangku beberapa lama. Aku akan diam saja, atau menggeleng. Lalu memikirkan jawaban itu berhari-hari. Memilih menghindarimu karena tak bisa menjawabnya. Aku akan lega jika kau tak lagi membahasnya.
Umurku baru lima belas. Aku bersepeda sepanjang jalan sambil menangis karena satu hal. Mencari tempat yang sepi untuk mati, pikiran remaja putus asa. Begitu dikacaukan, begitu masif, begitu berencana, bagaimana mati dengan baik.
Jalan yang lengang dan sepi untuk sebuah jalan raya. Aku memandang pepohonan berhembus, menimbulkan gerakan gemerisik. Ada bangku-bangku panjang tua disediakan pada pinggir-pinggir jalan itu.
Aku membawa beberapa komik kesukaanku, bermaksud membacanya di suatu tempat. Itu kebiasaan, aku memang selalu membawanya ke mana-mana. Bahkan saat mau mati aku masih memikirkan membaca buku. Hahah, hebat kan? Sayang pilihan bacaanku sedikit salah, aku semakin ingin mati saat membuka chapter baru dari komik itu. Melipat ujung halamannya, sedikit tidak nyaman. Terlalu sering membaca trik pembunuhan dan motif pelaku, aku jadi suka berpikir begini: kematian, mati, akhir, bukan sesuatu yang luar biasa.
Aku seringkali berpikir sama seperti itu. Kematian itu adalah akhir. Tidak ada kehidupan setelah itu. Tidak ada siksa kubur atau neraka. Mungkin aku akan bereinkarnasi. Oh, orang bunuh diri tidak akan bereinkarnasi. Baguslah. Aku juga tidak mau menjalani hidup yang sengsara karena telah bunuh diri.
Langit terlihat sedikit gelap, beberapa truk besar dengan muatan penuh lewat di depanku.
Aku berhitung, jika berdiri di sana, tidak sampai tujuh detik tubuhku yang kecil ini pasti akan langsung hancur. Aku mungkin tidak sempat merasa sakit. Bapak juga tak perlu repot memberinya kain kafan. Barangkali mereka juga enggan mengindentifikasi mayatku. Aku akan meninggal sebagai mayat tak dikenal.
Aku melangkah.
“Mencari kerang yang tidak menyenangkan!”
Langkahku berhenti. Menoleh dengan cepat. Seorang remaja laki-laki dengan sepeda gunung di dekatnya. Cowok itu meraih komik yang tadi aku letakkan. Dia membalik halaman dan membacanya. Aku tertegun. (Mencari kerang yang tidak menyenangkan adalah chapter baru dari komik yang sedang kubaca)
“Detektif Conan?” Dia berkata lagi. Sekarang melihatku. Kami berpandangan. “Ada tokoh yang mirip Arsenne Lupin kan? Penulisnya sepertinya memang mengadopsi karakter tersebut untuk jadi salah satu tokohnya. Kaito Kid ...” Dia terus bicara.
Aku terus menatapnya. Sekarang aku sadar ada yang ganjil. Kenapa dia bisa di sana. Kapan dia sampai di sana.
Situasi ini tidak biasa, kan? Itu pasti suasana yang aneh kan?
“Dia tokoh favoritku.”
“Kalau kau suka siapa?”
Seolah kami dalam suasana yang wajar. Aku masih tidak tahu bagaimana meresponsnya. Apa yang harus kukatakan?
Kau mengganggu! Jangan sok kenal! Kau aneh!
Harusnya aku bisa meneriakkan makian itu.
Anak itu terus tersenyum ramah. Matanya berbinar dan terlihat pintar. Dia terlihat terlalu ramah untuk ditujukan pada orang asing yang sedari tadi memandangnya seolah dia adalah makhluk alien yang datang dari planet yang tak dikenal.
“Saran aja sih, lebih baik pakai pembatas kertas, supaya bukunya tak cepat rusak.”
“Maaf!” Aku mengambil komik-komik itu sekaligus yang berada di tangannya. Memasukkannya tergesa dalam tas sandangku. Sekarang kami bertatapan dalam jarak dekat.
“Oh kukira, tadinya tak bisa bicara.” Masih dengan tersenyum. “Kau habis menangis?” Dia menunjuk mataku yang masih bengkak. Wajahku sekarang pasti memerah. Aku segera memalingkan muka. Malu.
“Hai, ijazahmu jatuh!” teriaknya lagi. Aku menoleh, dengan cepat mengambil kertas itu dari tangannya. “Kau di terima di sana itu juga, ya. Kita akan bertemu.” Aku segera mengambil ijazahku dan berbalik dengan terburu-buru.
“Namaku, Arsenna!” teriaknya. Aku terus saja pergi.
Hujan turun dengan deras beberapa saat aku meninggalkan tempat itu. Saat berteduh dan melihat hujan yang jatuh, aku merasa suasananya berbeda. Cemerlang dan bersinar. Seolah-olah setelah ini ada banyak yang harus kulakukan. Semua pikiran buruk beberapa jam lalu telah digantikan dengan rencana-rencana.
Arsenna. Tanpa sadar aku menggumankan namanya dengan tersenyum.
Dia menyebutkan namanya. Dia bahkan berkata dengan bangga, kami akan bertemu lagi. Memantik seluruh sarafku padam oleh perasaan bahagia yang belum pernah kurasakan. Menjadi aliran darah mengalir lebih deras. Aku bahkan bisa mendengar suara jantungku memompanya. Perasaan asing. Tidak kukenal. Aku ingin bertemu dia lagi. Aku ingin melihatnya lagi.
“Aku pikir, karena pemahaman kalau bunuh diri itu dosa, maka aku tidak jadi bunuh diri.” Aku tersenyum, “mungkin satu-satunya hal yang tepat dalam hidupku adalah membaca buku Osamu Dazai tidak pada usia yang itu. Kalau aku membacanya sebelum melewati usia krusial itu, aku tidak begitu berpikir panjang untuk meninggal dengan cara demikian.”
“Aku rasa tidak juga, sih,” katamu.
“Meski hidupmu menyedihkan, lalu akhirnya tak jadi bunuh diri, alasan yang benar adalah, kau ingin bertemu lagi dengannya. Benar kan?”
Aku tersenyum, tak menjawab. Yang benar, aku tak mau menjawabnya.
Bertahun-tahun kemudian jika kau bertanya lagi hal serupa, mungkin aku akan mengatakan jawabanku. Sebuah kisah cinta seperti itu memang lebih baik tidak memiliki akhir.
Kisah cinta yang seolah heroik dan happily ever after itu akan membuat ceritanya tidak menarik dan klise.
Kau tersenyum tipis. Menyeruput tehmu dengan tenang lalu bertanya.
“Jadi, bagaimana caranya kau meninggal?”
End
2024-2025



