Matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tua kampus, meninggalkan semburat jingga yang memantul di jendela perpustakaan.
Di sudut ruangan yang sepi, di antara rak-rak buku yang berdebu, duduklah seorang pria dengan pandangan kosong ke arah halaman novel yang tak benar-benar ia baca. Pria itu adalah Mula, mahasiswa sastra yang dikenal pendiam.
Di hadapannya, seorang gadis sedang sibuk mengetik di laptopnya. Namanya Lyn. Ia terkenal cerdas, penuh semangat, dan memiliki tawa yang selalu terdengar ceria di setiap sudut kampus. Namun, di antara keduanya, tersimpan rahasia.
Hari itu, hujan turun dengan derasnya, membasahi jalanan kampus. Mula duduk di tempat favoritnya di perpustakaan, seperti biasa, dengan buku di tangannya. Lyn datang tergesa-gesa, mengibaskan air dari rambutnya yang basah, lalu duduk di kursi kosong di depannya.
“Hujan tiba-tiba turun deras, aku nggak bawa payung. Boleh aku duduk di sini?” tanya Lyn kepada Mula sambil menarik kursi.
“Sudah duduk, kan… ngapain nanya lagi?” balas Mula dengan nada datar, tanpa mengangkat wajahnya dari buku.
Lyn hanya tersenyum kecil. Ia sudah terbiasa dengan sikap dingin Mula. Namun justru itu yang membuatnya tertarik. Ada sesuatu di balik tatapan mata pria itu — sesuatu yang tersembunyi dalam-dalam.
“Kamu selalu sendiri di sini. Apa nggak bosan?” ungkap Lyn penasaran.
“Kamu juga sering di sini. Apa nggak bosan?” balas Mula sambil menutup bukunya perlahan.
“Aku suka tempat ini. Perpustakaan selalu punya cerita. Seperti buku-buku yang kamu baca, pasti ada kisah di baliknya,” jawab Lyn dengan semangat.
Mula menatap Lyn untuk pertama kalinya malam itu, dan dalam sekejap, sesuatu dalam dirinya terguncang.
Minggu demi minggu berlalu, dan tanpa mereka sadari, kebiasaan itu terus berlanjut. Setiap malam, mereka duduk di meja yang sama. Kadang diam, kadang berbicara tentang hal-hal kecil — tentang buku, tentang hujan, tentang hidup.
Namun, ada satu hal yang tak pernah mereka bicarakan: masa lalu.
Suatu malam, saat perpustakaan hampir kosong, Lyn tiba-tiba bertanya pelan, suaranya hampir berbisik di antara rak-rak buku.
“Mula, kenapa kamu selalu memilih sendiri?”
Mula terdiam. Ia menatap halaman bukunya, seolah mencari jawaban di sana.
“Mungkin karena aku terbiasa begitu,” balas Mula.
“Atau karena ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” tanya Lyn lagi.
Mula menutup bukunya perlahan. Ia menatap Lyn, dan kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya.
“Dulu, aku percaya bahwa waktu bisa menyembuhkan segalanya. Tapi ternyata, ada luka yang tidak bisa sembuh... hanya bisa tersembunyi,” jelasnya.
“Luka karena seseorang?” tanya Lyn penasaran.
“Ada seseorang yang pernah aku cintai. Tapi dia pergi… dan aku tidak bisa menghentikannya,” ungkapnya sambil mengangguk pelan.
Lyn terdiam. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi sesuatu dalam tatapan Mula membuatnya memilih untuk diam. Malam itu, mereka kembali membaca dalam keheningan. Namun, keheningan itu kini terasa lebih berat.
Beberapa bulan berlalu, dan tanpa mereka sadari, sesuatu telah berubah. Kebersamaan mereka bukan lagi sekadar kebiasaan. Ada perasaan yang perlahan tumbuh, meski keduanya tak pernah mengatakannya.
Namun, suatu hari, rahasia yang selama ini ditenun waktu akhirnya terungkap.
Saat Lyn sedang membereskan buku-bukunya, sebuah foto kecil jatuh dari sela-sela halaman novel yang ia baca. Ia mengambilnya, dan matanya membesar saat melihat siapa yang ada dalam foto itu.
Itu adalah foto dirinya. Lebih tepatnya, foto dirinya saat masih di bangku SMA — bersama seorang pria yang kini duduk di depannya, menatapnya dengan ekspresi tak bisa dijelaskan.
“Mula... ini...?” tanya Lyn sambil berbisik.
Mula menatap foto itu dengan mata berkabut.
“Itu kamu, Lyn. Dan ini... rahasiaku,” balasnya sambil menunduk ke bawah, menatap buku yang dibacanya, tidak berani menatap wajah Lyn di depannya.
Lyn merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mengingat foto itu, mengingat masa lalu yang hampir ia lupakan.
“Kamu... kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Kita pernah saling mengenal, Lyn. Dulu, aku menyukaimu. Tapi kamu tidak pernah tahu... karena aku hanya melihatmu dari kejauhan,” jelas Mula sambil mengangguk pelan.
“Aku pikir, kalau aku membiarkan waktu berjalan, aku bisa melupakan perasaan itu. Tapi ternyata, aku hanya menyimpannya... dalam diam,” sambungnya.
Lyn terdiam lama. Ia tidak pernah menyadari bahwa ada seseorang yang selama ini menyimpan perasaan untuknya, seseorang yang selalu ada di dekatnya tanpa ia sadari.
Malam itu, mereka tidak banyak bicara. Namun, dalam tatapan mereka, ada sesuatu yang akhirnya terungkap.
Hari-hari berlalu, dan sesuatu telah berubah di antara mereka. Mereka masih duduk di meja yang sama di perpustakaan, tetapi kini, ada senyum di antara mereka. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi kata-kata yang tak terucap.
Suatu malam, saat hujan turun deras di luar, Lyn menatap Mula sambil tersenyum.
“Aku ingin menulis cerita,” ungkap Lyn dengan nada riang.
“Tentang apa?” balas Mula.
“Tentang seseorang yang pernah menunggu cintanya dalam diam. Tentang waktu yang menenun rahasia, hingga akhirnya ia menemukan jawabannya,” jawab Lyn dengan mata berbinar-binar.
“Dan bagaimana akhirnya?” tanya Mula sambil tersenyum simpul.
Lyn menatapnya lama, lalu menjawab pelan:
“Akhirnya... mereka berhenti menyembunyikan perasaan mereka.”
Hujan masih turun, tetapi kali ini, di antara mereka tidak ada lagi yang tersembunyi. Cinta yang selama ini ditenun oleh waktu akhirnya menemukan jalannya sendiri dalam ruang hati masing-masing.



