Gavin berdiri di depan gedung yang sedang terbakar. Asap hitamnya mengepul ke langit, membuat mata perih. Suara sirene meraung-raung, bersama teriakan orang-orang yang panik. Di balik kobaran api itu, ada seseorang yang terjebak.
Tanpa berpikir panjang, Gavin langsung menerobos masuk. Panasnya api sangat menyengat, membuat napas sesak. Bau kayu terbakar itu... membuat dia teringat dengan malam itu, waktu rumahnya telah rata dengan tanah, dan jeritan orang tuanya yang tidak bisa keluar dari reruntuhan.
Tiba-tiba, dia mendengar suara tangisan kecil. Di pojokan ruangan, ada anak kecil meringkuk ketakutan.
"Hei, tenang, Kakak di sini," kata Gavin lembut, sambil mengulurkan tangan. Dia bergegas menggendong anak itu, membawanya keluar.
Begitu mereka keluar.... bruk! Gedung itu ambruk di belakang mereka. Gavin jatuh, menjaga anak itu dari puing-puing yang berjatuhan. Napasnya tersengal-sengal. Selamat. Akhirnya, dia berhasil.
Dulu, saat masih remaja, Gavin pernah berdiri di depan cermin rumah sakit. Badannya penuh luka bakar. Setiap bekas luka itu... mengingatkan dia dengan malam yang telah merubah hidupnya.
Umurnya baru empat belas waktu itu. Api telah melahap rumahnya, dia telah mencoba sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang tuanya. Tapi api itu terlalu ganas. Dia pingsan di depan pintu, lalu terbangun di rumah sakit, sendirian.
Ia masih ingat bagaimana orang tuanya selalu menggandeng tangannya saat mereka berjalan di taman setiap Minggu pagi.
“Kelak, kau akan menjadi pria yang kuat, Nak,” kata ayahnya sambil mengusap kepalanya.
“Tapi jangan pernah lupa untuk tetap baik hati.”
"Kenapa aku yang selamat?" pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya.
Namun hidupnya mulai berubah saat bertemu Pak Surya, pemadam kebakaran yang sering datang ke panti asuhan tempat dia tinggal.
"Takdir itu terkadang memberi kita luka," kata Pak Surya.
"Luka itu bisa menghancurkanmu, atau menjadi api yang menuntunmu. Pilihan ada di tanganmu.”
Maka, Gavin memilih. Waktu umurnya delapan belas, dia memutuskan untuk menjadi pemadam kebakaran.
Pelatihannya berat sekali. Setiap kali lihat api, badannya langsung kaku, keringat dingin bercucuran. Tapi dia tidak menyerah. Pelan-pelan, dia belajar menghadapi ketakutannya.
Di sana, dia bertemu Alana.
Alana adalah satu-satunya perempuan di pelatihan itu, dan sejak awal ia sering mengkritik Gavin karena terlalu terjebak dalam ketakutannya.
“Kenapa kamu masih di sini, Gavin?” tanya Alana setelah sesi latihan yang melelahkan.
“Jika kamu takut, kenapa jadi pemadam kebakaran? Ini bukan tempat untuk orang yang takut mati dalam kebakaran.”
Gavin tidak bisa menjawab. Ia tahu apa yang Alana katakan benar. Ia datang ke pelatihan ini bukan hanya untuk mengalahkan api, tetapi untuk mengatasi rasa takut yang selalu membelenggunya.
Suatu malam, habis latihan berat, Alana duduk di sampingnya.
"Jangan cuma melawan api di luar, Gav," katanya pelan. "Kadang, kita juga harus berdamai sama api di dalam diri kita."
Gavin kaget. Jarang ada yang mengerti pergulatan batinnya. Tetapi Alana mengerti.
Sejak itu, mereka menjadi semakin dekat. Alana bukan hanya sekadar teman, tapi juga sandaran yang membantu dia menemukan dirinya kembali.
Tahun-tahun berlalu, Gavin resmi jadi pemadam kebakaran.
Suatu hari, hujan turun deras malam itu. Gavin baru saja selesai tugas pemadaman dan tubuhnya masih lelah, tapi matanya langsung mencari satu orang saat masuk ke barak.
Alana.
Dia menemukannya di luar, berdiri di bawah hujan, wajahnya mendongak menatap langit. Pakaian latihannya basah, tapi dia tidak terlihat terganggu.
“Hei! Kamu mau sakit?” Gavin mendekatinya, menarik lengan Alana agar masuk ke dalam.
Alana menatapnya, tersenyum kecil. “Kadang aku suka hujan. Bikin semua terasa lebih ringan.”
Gavin menghela napas, lalu tanpa pikir panjang, dia ikut berdiri di bawah hujan bersamanya.
Alana menatapnya dengan alis terangkat. “Kamu ngapain?”
“Kalau kamu nggak mau masuk, yaudah. Aku temenin saja di sini,” jawab Gavin santai.
Alana tertawa pelan, tapi kemudian diam, memperhatikan wajah Gavin.
“Gav, kenapa kamu selalu berusaha menanggung semuanya sendiri?”
Gavin terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
Lalu tiba-tiba, Alana meraih tangannya, menggenggamnya erat.
“Aku di sini. Aku bukan hanya partner di lapangan, tapi juga di hidup kamu. Jangan selalu merasa sendiri.”
Gavin menatap genggaman tangan mereka, lalu menatap Alana. Dalam hujan deras itu, ada sesuatu yang membuat dadanya hangat.
Beberapa bulan kemudian, di bawah langit senja, Gavin berdiri di depan makam orang tuanya dengan lilin menyala di tangannya.
"Ibu... Ayah... aku rindu kalian," bisiknya. "Tapi aku akan terus hidup dengan keberanian yang telah kalian ajarkan."
Alana berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Gavin menoleh ke arahnya, lalu menarik napas dalam.
"Alana," katanya lembut. "Aku ingin kita selalu bersama, melewati setiap tantangan."
Alana tersenyum tipis. "Keberanian itu bukan cuma tentang melawan api, Gavin. Tapi juga tentang berani membuka hati."
Dia mengangguk, lalu mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. Dengan tangan gemetar, dia membukanya.
"Alana... maukah kamu menikah denganku?”
Alana diam sebentar, lalu tersenyum. Dia tidak berkata apa-apa, hanya memeluk Gavin erat.
Api mungkin sudah merampas masa lalunya. Tapi sekarang, Gavin tahu, ada api lain yang tidak akan pernah padam, yaitu api keberanian, harapan, dan cinta.




