25 Februari 2024
"Pintu Nomor Tiga Belas"
Di sebuah penginapan tua di pinggiran kota, yang dikelilingi hutan lebat, terselip sebuah kamar yang tidak pernah dibuka—kamar nomor tiga belas. Tidak ada kunci untuk pintu itu, dan para pegawai penginapan dilarang menyebut-nyebutnya kepada tamu. Namun, di malam yang gelap dan hujan lebat, seorang tamu tak sengaja menemukan rahasia yang tak pernah ingin diketahui.
Dania, seorang fotografer lepas, tiba di penginapan itu karena terjebak badai di tengah perjalanan pulang dari proyek fotografi di pedalaman. Saat resepsionis menyerahkan kunci kamarnya, Dania melirik deretan kunci lain di dinding. Salah satunya, dengan label "13", tergantung di sana.
“Nomor tiga belas?” tanyanya, setengah penasaran.
Resepsionis itu tampak gugup. "Oh, itu... sudah lama tidak digunakan, Bu. Itu hanya... ruang penyimpanan sekarang."
Dania hanya mengangguk, meskipun rasa ingin tahunya terpicu. Malam itu, setelah makan malam yang dingin dan tanpa rasa, ia kembali ke kamarnya. Tapi pikirannya terusik. Apa yang ada di balik pintu nomor tiga belas?
Dia mencoba tidur, tapi suara-suara aneh terdengar dari lorong—seperti langkah kaki, lalu ketukan pelan di pintunya. Ketika ia membuka pintu, lorong itu kosong. Tetapi angin dingin yang menerobos membuat bulu kuduknya berdiri. Mata Dania tertuju ke ujung lorong, di mana pintu nomor tiga belas berdiri kokoh.
“Tidak ada salahnya melihat,” gumamnya, sambil membawa senter kecil dari tasnya.
Lorong itu terasa semakin gelap saat ia mendekati pintu. Anehnya, pintu nomor tiga belas tidak terkunci. Dengan tangan gemetar, ia memutar gagangnya. Pintu itu berderit terbuka, mengungkapkan ruangan yang gelap dan berbau lembap. Cahaya senternya menyapu ruangan itu, dan ia tertegun.
Di dalamnya, ada kursi kayu tua di tengah ruangan, dengan tali usang melilitnya. Di dinding, foto-foto hitam putih tergantung, semuanya menggambarkan orang-orang yang wajahnya dicoret dengan tinta hitam tebal. Dan di sudut ruangan, ia melihat sebuah koper tua yang tertutup debu.
Dania mendekati koper itu dengan hati-hati. Ia membukanya, dan bau busuk langsung menyergap. Di dalam koper itu, ada tumpukan pakaian usang, beberapa di antaranya ternoda darah. Dan di bawahnya, sebuah buku catatan kecil dengan tulisan tangan yang nyaris tidak terbaca. Ia membukanya dan membaca halaman pertama:
"Aku tidak bisa membiarkan mereka pergi. Mereka tahu terlalu banyak. Kamar ini adalah satu-satunya tempat aku bisa menjaga rahasiaku tetap terkubur."
Jantung Dania berdegup kencang. Ia mundur beberapa langkah, dan tiba-tiba suara langkah berat terdengar dari lorong. Ia menoleh, tetapi pintu kamar itu tertutup dengan keras, mengunci dirinya di dalam.
“Ada siapa di sana?!” teriaknya panik.
Suara langkah itu semakin mendekat, dan ketukan pelan terdengar di pintu. “Kamu tidak seharusnya masuk,” kata suara pelan dari luar, nyaris berbisik, tapi dingin seperti es.
Dania memukul-mukul pintu, mencoba membukanya, tapi sia-sia. Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu, lalu terdengar suara gesekan logam seperti pisau diasah.
“Siapa kamu?!” Dania berteriak, napasnya memburu.
Tiba-tiba, suara langkah itu menghilang, dan pintu terbuka dengan sendirinya. Lorong di luar kosong, tetapi sebuah jejak darah segar memanjang dari pintu menuju ke tangga. Dengan ketakutan, Dania mencoba lari keluar, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di ujung lorong—seorang pria tinggi dengan wajah tak terlihat karena bayangan gelap. Ia memegang pisau besar, yang meneteskan darah.
Pria itu melangkah maju perlahan. “Kau sudah tahu terlalu banyak,” katanya dengan suara serak.
Dania berbalik, mencoba lari ke arah lain, tetapi pria itu lebih cepat. Jeritannya menggema di lorong itu, sebelum malam kembali sunyi, hanya menyisakan jejak darah di depan pintu nomor tiga belas.
Keesokan harinya, penginapan itu tetap buka seperti biasa, dan para tamu lain tidak pernah tahu apa yang terjadi. Namun, di lorong itu, ada sesuatu yang berubah—bau anyir darah tak pernah benar-benar hilang, dan pintu nomor tiga belas kini terkunci selamanya.