23 Februari 2024
Perjalanan Tak Terlupakan: Malam di Hutan Gelap
Ada suatu malam yang selalu terpatri di benakku, pengalaman yang terasa seperti mimpi buruk tetapi begitu nyata hingga aku sulit melupakannya. Malam itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu, ketika aku dan empat temanku memutuskan untuk mendaki gunung di kawasan pegunungan yang cukup terpencil. Kami pikir itu akan menjadi perjalanan akhir pekan biasa—udara segar, tawa riang, dan pemandangan indah.
Perjalanan dimulai dengan lancar. Jalur pendakian relatif sepi, dan kami menikmati setiap langkah. Tapi masalah muncul saat kami mendekati puncak. Hujan deras tiba-tiba turun, membuat jalur licin, dan malam mulai turun lebih cepat dari yang kami perkirakan. Kami memutuskan untuk berhenti di sebuah area kecil di tengah hutan dan mendirikan tenda.
Saat malam semakin larut, suasana menjadi aneh. Hutan yang tadinya penuh dengan suara binatang tiba-tiba sunyi. Bahkan suara jangkrik pun hilang. Kami berusaha tidak memikirkan hal itu, tapi rasa tidak nyaman mulai menjalar.
Ketika aku keluar dari tenda untuk mengambil air di sungai kecil dekat lokasi kami, aku merasa ada yang memperhatikanku. Aku menoleh ke belakang, tapi tidak ada apa-apa. "Hanya imajinasi," pikirku, mencoba menenangkan diri.
Namun, ketika aku kembali ke tenda, salah satu temanku, Rian, berkata dengan suara pelan, "Kalian dengar nggak tadi? Ada suara orang memanggil dari jauh."
Kami semua saling berpandangan. Tidak ada satu pun dari kami yang mendengar suara itu. Tapi wajah Rian tampak pucat, dan dia bersikeras bahwa dia mendengar seseorang memanggil namanya. Kami mencoba mengabaikan ketakutannya dan melanjutkan malam seperti biasa, meski suasana makin mencekam.
Pukul dua pagi, aku terbangun karena suara langkah berat di luar tenda. Langkah itu berputar-putar, berhenti sesaat, lalu bergerak lagi. Aku membangunkan teman-temanku dengan berbisik, "Ada sesuatu di luar."
Rian langsung bangun dan membuka sedikit pintu tenda untuk mengintip. Ekspresinya berubah drastis—matanya membelalak, dan dia menutup pintu tenda dengan tergesa-gesa. "Jangan keluar!" bisiknya tegas.
Kami menuntut penjelasan, tapi dia hanya berkata, "Aku nggak yakin apa yang aku lihat, tapi kita harus tetap di dalam." Kami semua diam, mendengarkan langkah itu yang semakin mendekat.
Ketegangan mencapai puncaknya ketika langkah itu berhenti tepat di depan tenda. Napas kami tertahan, dan aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang. Kemudian, suara aneh mulai terdengar—seperti bisikan yang tak bisa kupahami, tapi terasa begitu dekat.
Pagi harinya, kami keluar dari tenda dengan hati-hati. Tidak ada tanda-tanda seseorang atau sesuatu di sekitar kami, tetapi tanah di depan tenda menunjukkan jejak kaki besar yang aneh, terlalu besar untuk manusia biasa.
Kami segera membereskan barang dan turun dari gunung secepat mungkin. Tidak ada yang berbicara banyak selama perjalanan pulang. Ketika kami akhirnya sampai di bawah, Rian akhirnya bercerita. Dia mengatakan bahwa yang dia lihat malam itu adalah sosok tinggi besar dengan wajah tidak jelas, berdiri diam di antara pepohonan, menatap langsung ke arah kami.
Hingga hari ini, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Mungkin hanya imajinasi kolektif akibat ketakutan di hutan gelap. Tapi setiap kali aku melihat gunung itu dari kejauhan, aku tidak bisa menahan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pengalaman biasa—sesuatu yang tetap tinggal di sana, di balik bayangan hutan.