13 Februari 2024
Jejak Bayang di Lorong Waktu
Aruna tidak pernah bisa melewatkan pasar malam tanpa membawa pulang sesuatu yang aneh. Malam itu, ia menemukan sebuah buku tua di kios kecil yang nyaris tersembunyi. Penjualnya adalah seorang pria tua dengan sorot mata misterius. "Buku ini bukan sembarang buku," ucapnya. Namun, Aruna hanya tertawa, menganggapnya sekadar trik untuk menarik pembeli.
Setibanya di rumah, ia membuka buku itu dan tertegun. Halaman-halaman awalnya kosong, tetapi perlahan, tinta hitam muncul, membentuk gambar sebuah jam antik. Saat Aruna menyentuh gambar itu, dunia di sekitarnya bergoyang. Ia merasakan tubuhnya melayang, hingga tiba-tiba ia berada di lorong panjang penuh pintu bercahaya. Setiap pintu memancarkan suara—tawa, tangisan, dan bahkan bisikan yang tak jelas artinya.
Sebuah pintu menarik perhatian Aruna. Cahaya lembut keemasan menyelinap dari celahnya, membisikkan rasa hangat yang aneh. Dengan hati-hati, ia membuka pintu itu. Dalam sekejap, ia tersedot ke dunia yang berbeda, sebuah desa kecil di masa kolonial. Aruna mengenali tempat itu dari cerita neneknya—desa tempat leluhurnya berasal.
Di tengah hiruk-pikuk pasar, seorang wanita muda mendekat. Wajahnya sangat mirip dengan Aruna. "Siapa kau?" tanya wanita itu dengan nada curiga. "Aku… Aku Aruna," jawabnya terbata. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Seruni. Nama itu langsung dikenali Aruna. Ia adalah nenek buyutnya, seorang wanita pemberani yang sering diceritakan neneknya. Tetapi Seruni yang berdiri di hadapannya tidak seperti yang ia bayangkan. Ia terlihat rapuh, penuh keraguan.
"Bagaimana aku bisa melindungi keluargaku? Aku takut," kata Seruni dengan suara pelan. Aruna mulai memahami bahwa kisah keberanian Seruni yang selama ini ia dengar ternyata jauh lebih rumit. Seruni bukanlah pahlawan sempurna, melainkan seorang wanita muda yang harus berjuang melawan ketakutannya sendiri.
Aruna merasa perlu membantu. Ia memberikan ide-ide yang ia tahu dari cerita sejarah—membuat rencana sederhana untuk menyelamatkan keluarga Seruni dari ancaman penjajah. Namun, setiap kali ia membantu, Aruna merasakan dunia di sekitarnya berubah. Ketika ia kembali sejenak ke lorong waktu, ia melihat perubahan kecil pada foto keluarganya di dunia nyata. Wajah neneknya mulai memudar di salah satu foto.
Lorong waktu memperingatkannya. "Semakin kau mengubah masa lalu, semakin rapuh masa depanmu," bisik suara dari kegelapan. Tetapi Aruna merasa terjebak. Jika ia berhenti membantu, Seruni dan keluarganya mungkin akan menderita. Namun jika ia terus melibatkan diri, ia mungkin kehilangan bagian penting dari kehidupannya di masa kini.
Hari perlawanan akhirnya tiba. Seruni memimpin sekelompok kecil penduduk desa untuk menyerang gudang penjajah. Aruna tetap di belakang layar, memastikan semua berjalan sesuai rencana. Namun ketika Seruni hampir tertangkap, Aruna nekat melangkah ke depan. Ia mengalihkan perhatian para penjajah, memberikan waktu bagi Seruni untuk melarikan diri.
Pintu ke lorong waktu terbuka di tengah kekacauan. Aruna tahu ia harus pergi. Dengan air mata, ia melihat Seruni berlari menjauh, aman dari bahaya. "Hiduplah dengan berani," bisiknya sebelum melangkah kembali ke lorong waktu.
Ketika Aruna kembali ke dunianya, sesuatu terasa berbeda. Buku tua itu lenyap, seolah tak pernah ada. Tetapi di meja tempatnya biasa membaca, sebuah surat tergeletak. Tulisan tangan yang familiar terbaca di atasnya: "Terima kasih telah memberikan keberanian kepadaku. Dengan cinta, Seruni."
Aruna tersenyum, meskipun hatinya berat. Ia kehilangan sesuatu, tetapi ia tahu bahwa pengorbanannya tidak sia-sia. Ia telah menjadi bagian dari kisah yang lebih besar, sebuah kisah tentang keberanian dan cinta yang melampaui batas waktu.