23 Februari 2024
Langit, Jembatan, dan Si Tukang Foto Sok Puitis
Langit sore itu cantik, seperti biasa. Nadira berdiri di jembatan tua favoritnya, mengunyah keripik singkong yang baru dibelinya di warung sebelah. Sambil menikmati jingga yang menyebar di langit, ia merasakan hidup ini tidak terlalu buruk—meski rekeningnya hampir kosong dan cicilan kos sudah menanti.
Namun, ketenangannya terganggu oleh suara seseorang yang tiba-tiba berkata, "Indah, ya?"
Nadira menoleh dan mendapati seorang pria dengan kamera DSLR sebesar bantal di tangannya. Dia mengenakan kemeja flanel kotak-kotak, topi yang terlalu miring, dan senyum yang, jujur saja, sedikit berlebihan.
"Langitnya atau keripiknya?" jawab Nadira datar, sambil mengunyah pelan.
Pria itu tertawa kecil, meskipun tidak ada yang lucu. "Langit, tentu saja. Aku suka memotret langit di tempat seperti ini. Tapi sepertinya aku juga menemukan sesuatu yang lebih menarik," katanya, melirik keripik singkong Nadira.
"Kalau mau, beli sendiri," jawab Nadira, sambil memeluk bungkus keripiknya erat-erat.
"Aku Arga," katanya tanpa malu. "Dan kamu?"
"Nadira. Dan kalau kamu mau lanjut dengan pidato puitismu, aku mau pulang," katanya, mencoba menghindar dari percakapan yang sudah mulai terasa seperti dialog film indie murah.
Tapi Arga ternyata bukan tipe yang mudah menyerah. "Kamu tahu nggak," katanya sambil menatap langit dengan ekspresi sok mendalam, "langit ini seperti kita. Selalu berubah, tapi tetap sama."
Nadira berhenti sejenak. "Apa itu tadi? Kutipan dari buku diskon di toko buku sebelah?" tanya Nadira, menahan tawa.
Namun, meski awalnya merasa terganggu, Nadira mendapati dirinya terus bertemu Arga di jembatan itu. Entah kenapa, pria dengan kamera besar dan humor receh itu mulai membuat hari-harinya sedikit lebih cerah—atau setidaknya sedikit lebih lucu. Mereka berbicara tentang hal-hal yang tidak penting, seperti kenapa angin di jembatan ini selalu lebih dingin atau kenapa keripik singkong di warung sebelah harganya naik seribu rupiah.
Suatu hari, Arga datang dengan membawa sebuah foto. "Aku ingin kamu lihat ini," katanya dengan nada serius, yang jarang sekali ia gunakan.
Nadira mengambil foto itu dan langsung tertawa terbahak-bahak. Itu adalah fotonya sendiri, sedang mengunyah keripik dengan wajah yang setengah melongo. "Kamu serius? Ini mau dipajang di galeri?"
Arga tersenyum. "Iya. Judulnya, 'Perempuan dan Keripiknya: Sebuah Renungan tentang Kehidupan.'"
"Renungan dari mana?! Aku cuma lapar, Arga!" Nadira memukul lengannya, masih tertawa.
Namun, di balik canda tawa itu, ada sesuatu yang berubah. Nadira mulai menyadari bahwa ia tidak pernah merasa sekonyol dan sebahagia ini sebelumnya. Arga mungkin tukang bicara puitis yang sering membuatnya mengernyit, tetapi ia juga orang yang membuat hari-harinya terasa lebih hidup.
Tapi, seperti semua hal menyenangkan, momen itu terancam berakhir. "Aku harus pergi," kata Arga suatu sore. "Aku dapat beasiswa fotografi di luar negeri."
Nadira terdiam. Ia ingin berkata, Baguslah, biar aku bebas dari ocehanmu, tapi hatinya justru terasa kosong. "Oh," katanya pelan. "Semoga sukses."
"Aku akan kembali," kata Arga sambil tersenyum. "Dan jangan lupa, langit ini akan selalu mengingatkan aku padamu. Dan keripik singkong itu, tentu saja."
Setelah Arga pergi, Nadira merasa ada yang hilang. Ia tetap datang ke jembatan itu, tapi tidak ada lagi pria sok puitis dengan kamera besarnya. Namun, ia tahu, suatu hari pria itu akan kembali dengan foto-foto anehnya dan humor recehnya.
Dan benar saja, bertahun-tahun kemudian, saat Nadira sedang asyik mengunyah keripik seperti biasa, seseorang berdiri di sebelahnya. "Langit ini indah, ya?" kata suara yang sangat ia kenal.
Nadira menoleh dan tersenyum. "Kamu kembali."
Arga mengangkat kameranya. "Tentu saja. Tapi, aku sebenarnya cuma mau tahu, keripiknya enak nggak? Aku sudah lama kangen keripik ini."
Nadira tertawa, dan sore itu, di bawah langit yang sama, mereka tahu bahwa kisah mereka tidak akan pernah selesai—selama ada keripik singkong dan candaan receh yang mengiringi.