2 Februari 2024
Kopi, Senja, dan Surat Cinta yang Salah Alamat
Di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota, Adinda duduk di mejanya seperti biasa, memandangi layar laptop yang lebih sering digunakannya untuk menonton serial drama ketimbang bekerja. Kopi latte di cangkirnya sudah dingin, tapi ia tak peduli. Perhatian Adinda teralihkan ke sebuah amplop merah muda yang tergeletak di meja sebelahnya, tanpa pemilik.
Awalnya, ia ingin mengabaikan. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. "Siapa yang meninggalkan ini?" gumamnya, sambil melirik kanan-kiri. Tidak ada yang terlihat mencurigakan. Amplop itu tetap memanggil-manggil, seperti memintanya untuk dibuka.
“Ah, siapa tahu penting,” kata Adinda akhirnya, sambil membuka amplop itu.
Di dalamnya, ada sebuah surat dengan tulisan tangan yang rapi. Surat itu dimulai dengan, “Untuk Nadine, perempuan yang telah mengubah cara pandangku tentang hidup…”
Adinda tertegun. Nadine? Bukan Adinda. Ia baru saja membaca surat cinta yang jelas bukan untuknya. Namun, sesuatu dalam surat itu membuatnya sulit berhenti. Setiap kalimat penuh pujian, setiap metafora terasa manis. Pria ini, siapa pun dia, adalah seseorang yang tahu cara menggunakan kata-kata untuk mencuri hati.
Sampai di akhir surat, Adinda tersenyum kecil. Penulis surat ini menuliskan: “Jika kau merasa hal yang sama, temui aku di kedai ini pukul lima sore. Aku akan menunggumu dengan secangkir kopi hitam dan harapan besar.”
“Wow, drama banget,” gumam Adinda, menahan tawa. Ia melirik jam di ponselnya. 16:45. Hatinya berdebar. Apakah Nadine akan datang? Atau lebih tepatnya, siapa pria ini?
Setelah mempertimbangkan moralitasnya selama dua menit, Adinda memutuskan untuk tetap tinggal. Bukan untuk ikut campur, tentu saja, hanya… sekadar ingin tahu. Pukul lima tepat, seorang pria masuk ke kedai. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, celana jeans, dan membawa buku catatan kecil. Ia tampak canggung, matanya mencari-cari seseorang.
Itu pasti dia, pikir Adinda.
Pria itu akhirnya duduk di meja sebelah, tepat di tempat amplop tadi berada. Ia memesan kopi hitam, seperti yang ia tulis di suratnya. Adinda berusaha menahan senyum. Ia ingin tahu apakah Nadine akan benar-benar datang.
Tapi lima menit berlalu. Lalu sepuluh. Lalu lima belas. Tidak ada Nadine.
Akhirnya, dengan sedikit dorongan keberanian (dan rasa bosan), Adinda mengetuk meja pria itu. “Maaf, apakah Anda sedang menunggu seseorang?”
Pria itu menoleh, terlihat sedikit terkejut. “Ya… seharusnya. Tapi sepertinya dia tidak akan datang.”
Adinda tersenyum simpul, lalu menunjukkan amplop merah muda di tangannya. “Apakah ini surat yang Anda tinggalkan?”
Wajah pria itu langsung memerah. “Oh, Tuhan… Ya, itu surat saya. Bagaimana Anda bisa menemukannya?”
“Itu tertinggal di meja ini,” jawab Adinda. “Dan… maafkan saya, saya membacanya. Tulisan Anda bagus, by the way.”
Pria itu tertawa kecil, meskipun terlihat sedikit gugup. “Terima kasih, saya kira.”
Adinda menatap pria itu, lalu berkata, “Anda tahu, mungkin Nadine hanya terlambat. Tapi, kalau Anda sudah menulis surat seindah itu, Anda pasti punya keberanian lebih untuk berbicara langsung.”
Pria itu tersenyum kecut. “Sebenarnya, saya bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar membaca surat saya.”
Adinda mengangkat bahu. “Kalau begitu, anggap saja ini latihan. Anda tahu, untuk perempuan lain yang mungkin Anda temui.”
Pria itu tertawa. “Mungkin. Tapi, bagaimana dengan Anda? Anda sering datang ke sini?”
Adinda mengangguk. “Setiap hari. Saya suka tempat ini.”
Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Kalau begitu, mungkin saya akan mencoba keberuntungan saya di sini lain kali. Dengan amplop yang tidak salah alamat.”
Adinda terkekeh. “Pastikan amplopnya tidak tertinggal lagi.”
Pria itu bangkit, mengambil amplopnya, dan sebelum pergi, ia berkata, “Oh, nama saya Aditya, by the way.”
“Adinda,” balasnya.
Dan sore itu, meskipun Nadine tidak pernah datang, Adinda tahu bahwa surat cinta yang salah alamat bisa menjadi awal cerita yang lebih menarik.