28 Februari 2022
Kepingan Hati di Dunia yang Hilang
Langit selalu berwarna oranye pucat, seperti sebuah luka lama yang tak pernah sembuh. Dunia telah berubah menjadi lautan pasir, memeluk puing-puing peradaban dengan keheningan yang menyakitkan. Ana berjalan sendirian, melewati kerangka gedung-gedung yang runtuh dan pohon-pohon yang mati, berharap pada sesuatu yang ia sendiri tak yakin ada: Lea.
Mereka adalah dua saudara yang tak terpisahkan, hingga ledakan besar memisahkan segalanya. Orang tua mereka hilang entah kemana, dan Lea—satu-satunya orang yang membuat dunia Ana tetap masuk akal—terbawa arus kekacauan di hari kehancuran itu. Ana telah berjalan sejauh ini, menyusuri jalanan yang tertelan pasir, membongkar reruntuhan, dan menelusuri jejak kehidupan yang semakin jarang. Namun, ia tidak pernah menyerah. Ada sesuatu yang berbisik di dalam hatinya bahwa Lea masih hidup, dan Ana harus menemukannya.
Hari itu, Ana menemukan sesuatu yang membuatnya terhenti. Di bawah reruntuhan sebuah gedung yang hampir tertelan pasir, ia menemukan kotak kecil yang terjepit di antara puing-puing. Di dalamnya ada sebuah foto, buram oleh debu dan waktu. Foto itu adalah dirinya, Lea, dan kedua orang tua mereka. Mereka semua tersenyum, seakan dunia ini tak pernah mengenal kehancuran. Di belakang foto itu, tertulis sebuah kalimat dengan tinta yang hampir memudar: "Aku akan menunggu di tempat kenangan kita."
Ana tahu apa artinya. Tempat kenangan mereka hanya ada satu: taman kecil di pinggir kota tempat mereka dulu bermain saat masih kecil. Tempat itu berada ratusan kilometer dari tempat Ana berdiri sekarang. Dengan hanya botol air setengah penuh dan kompas tua, Ana memutuskan untuk memulai perjalanan. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menemukan Lea.
Perjalanan itu berat. Panas matahari siang seperti membakar kulitnya, sementara malam membawa hawa dingin yang menembus hingga ke tulang. Badai pasir datang tanpa peringatan, membuatnya buta akan arah, dan membuat setiap langkah terasa seperti memanjat gunung. Namun, Ana terus berjalan. Setiap langkahnya dipenuhi oleh bayangan Lea—tertawa, berbicara, dan memanggil namanya dengan nada manja. Itu cukup untuk membuatnya terus maju.
Di tengah perjalanan, Ana menemukan tanda-tanda kecil yang membangkitkan harapan. Di tepi jalan berpasir, ia menemukan boneka lama yang pernah dimiliki Lea, setengah terkubur pasir. Tidak jauh dari situ, ada jejak kaki kecil yang berbelok ke arah yang sama dengan tujuan Ana. Dan suatu malam, ia menemukan bekas api unggun yang masih hangat, tanda bahwa seseorang baru saja berada di sana.
Namun, setiap tanda yang ia temukan juga membawa kecemasan. Bagaimana jika ia terlambat? Bagaimana jika Lea tidak bertahan cukup lama? Pikiran itu menghantui Ana setiap malam, tetapi ia menolak membiarkannya mengambil alih.
Setelah berminggu-minggu perjalanan yang melelahkan, Ana akhirnya tiba di taman kenangan mereka. Tempat itu tidak lagi seperti yang ia ingat. Pohon-pohon mati berdiri seperti arwah, ayunan tua berderit diterpa angin, dan pasir telah menelan sebagian besar bangku-bangku yang dulu penuh dengan tawa anak-anak. Ana mencari dengan panik, memanggil nama Lea.
“Lea!” suaranya pecah di udara, menggema di antara reruntuhan. Tidak ada jawaban.
Putus asa, Ana jatuh berlutut di tengah taman, air mata membasahi wajahnya yang penuh debu. Harapan terakhirnya mulai memudar, hingga sebuah suara kecil memecah keheningan.
“Aku tahu kamu akan datang.”
Ana menoleh. Di bawah pohon mati di sudut taman, seseorang duduk di atas bangku tua. Itu Lea. Wajahnya kurus, tubuhnya lemah, tetapi senyumnya tetap sama. Ana berlari dan memeluknya erat, takut jika ia melepaskan, Lea akan menghilang lagi.
“Kamu datang,” Lea berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Selalu,” Ana menjawab sambil menangis. “Aku selalu datang untukmu.”
Malam itu, di bawah langit berbintang yang jarang terlihat, Ana dan Lea duduk bersama, berbagi cerita dan kenangan. Dunia di sekitar mereka mungkin telah hancur, tetapi mereka tahu bahwa selama mereka memiliki satu sama lain, ada alasan untuk terus bertahan. Di tengah kehancuran, mereka menemukan kembali kepingan hati mereka yang hilang, dan harapan untuk memulai lagi, bersama.