Romance

Romance

Romance

19 Februari 2024

Di Bawah Hujan: Ketika Takdir Menyatukan

Tasya tidak pernah menyukai hujan. Bagi dia, hujan selalu membawa kenangan pahit tentang kehilangan. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil di malam yang penuh hujan deras, meninggalkan luka mendalam yang tak pernah sembuh. Setiap tetes air yang jatuh dari langit mengingatkannya pada rasa sakit itu, membuatnya merasa tenggelam dalam duka yang tak kunjung reda.

Namun, hidup memiliki cara tersendiri untuk mengubah perspektif seseorang. Pada suatu sore di bulan Desember, ketika hujan deras mengguyur kota, Tasya terjebak di sebuah halte kecil. Ia baru saja pulang dari kantor, dengan tubuh lelah dan pikiran penuh kekhawatiran tentang pekerjaannya yang tidak pernah memberinya kebahagiaan.

Sementara ia menunggu hujan reda, seorang pria tiba-tiba datang dan berlindung di halte yang sama. Tasya meliriknya sekilas, memperhatikan sosok tinggi dengan jas hujan yang basah kuyup dan sepasang mata cokelat yang hangat. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya. "Sepertinya hujan ini tidak akan segera berhenti," katanya, membuka percakapan.

Tasya hanya mengangguk. Ia tidak berniat berbicara dengan orang asing, tetapi pria itu tampaknya tidak peduli. Ia duduk di sebelah Tasya dan mulai bercerita tentang hari-harinya. Namanya Arya, seorang ilustrator yang sedang mengejar mimpinya untuk membuka pameran seni sendiri. Ia berbicara dengan antusias, dan Tasya, yang biasanya canggung dengan orang baru, merasa bahwa suaranya begitu menenangkan.

Hujan deras itu berlangsung cukup lama, dan tanpa sadar, mereka mengobrol hingga malam tiba. Arya memiliki cara yang unik untuk melihat dunia, seolah-olah setiap hal, sekecil apa pun, memiliki keindahan tersendiri. Tasya, yang biasanya sinis dan skeptis, mulai merasa bahwa dunia tidak seburuk yang selama ini ia pikirkan.

Ketika hujan mereda, Arya menawarkannya payung untuk pulang. "Aku bisa pinjamkan ini untukmu," katanya. "Tapi dengan satu syarat."

"Apa itu?" tanya Tasya, sedikit curiga.

"Kau harus mengembalikannya padaku. Anggap saja ini sebagai alasan untuk kita bertemu lagi," jawab Arya dengan senyum jahil.

Tasya tertawa kecil, sesuatu yang jarang ia lakukan. Ia menerima payung itu dan pergi dengan hati yang lebih ringan dari sebelumnya.

Hari-hari berlalu, dan Tasya tidak bisa berhenti memikirkan Arya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda tentang pria itu, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengembalikan payung itu, meskipun sebenarnya ia ingin sekali menyimpannya sebagai kenang-kenangan.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang Arya rekomendasikan. Pertemuan itu terasa seperti kelanjutan dari percakapan mereka sebelumnya, penuh tawa dan cerita. Tasya mulai merasa nyaman membuka diri kepada Arya, bahkan tentang rasa sakit yang ia alami sejak kehilangan ayahnya.

Arya mendengarkan dengan sabar, dan bukannya memberikan kata-kata penghiburan klise, ia berkata, "Terkadang, kehilangan itu bukan tentang melupakan, tetapi tentang belajar menerima. Aku kehilangan ibuku saat kecil, dan butuh waktu lama bagiku untuk mengerti bahwa ia tidak pernah benar-benar pergi. Ia selalu ada dalam setiap lukisan yang aku buat, dalam setiap kenangan yang aku simpan."

Kata-kata itu menyentuh hati Tasya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak sendirian dalam kesedihannya. Arya tidak hanya hadir, tetapi ia juga mengerti.

Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Arya mengajarkan Tasya untuk melihat hujan dari sudut pandang yang berbeda. Mereka sering berjalan di bawah hujan, berbagi payung sambil tertawa bersama. Arya menunjukkan padanya bagaimana hujan bisa menjadi awal, bukan akhir. Hujan membawa kehidupan, menyegarkan bumi, dan menyatukan dua orang yang terluka dalam keindahan yang sederhana.

Pada suatu sore yang cerah, ketika langit mulai menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan, Arya membawa Tasya ke sebuah galeri seni. Di sana, ia menunjukkan sebuah lukisan besar yang ia buat—sebuah payung di tengah hujan, dengan dua siluet di bawahnya.

"Itu kita," kata Arya dengan lembut. "Aku ingin kamu tahu bahwa sejak kita bertemu, aku mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Kamu membuatku percaya bahwa luka masa lalu bisa sembuh, dan hujan... hujan bukan lagi musuh."

Tasya terdiam, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hujan bukanlah musibah, tetapi anugerah. Ia meraih tangan Arya dan berkata, "Aku tidak tahu apakah aku bisa mencintai hujan sepertimu, tapi aku tahu satu hal—aku ingin mencintaimu, bahkan di tengah badai sekalipun."

Hujan mulai turun saat itu, tetapi mereka tidak peduli. Di bawah payung yang sama, mereka berdiri, saling menatap, dan membiarkan hujan menjadi saksi dari kisah cinta yang baru dimulai.

Get Notifications For Each Fresh Post

Get Notifications For Each Fresh Post

Get Notifications For Each Fresh Post